Popular Posts

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

About

About Me

Followers

Pages

Like us on Facebook

Rabu, 10 Juni 2015
Belajar dari Sang “Guru Bangsa”
*Diskusi singkat dengan Buya Syafii Maarif

Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif
Sore itu tepatnya di hari Senin, 8 Juni 2015 saya beserta kawan-kawan lain yang terkumpul di PC IMM Kab. Sleman memiliki agenda silaturahim ke rumah tokoh Muhammadiyah yang ada di Yogyakarta khususnya di Kabupaten Sleman. Acara silaturahim seperti ini biasa kami lakukan dan sudah menjadi tradisi yang selalu kami lestarikan dan telah diwariskan langsung dari para senior kami baik di lingkup PK (Komisariat / Fakultas) maupun di lingkup PC (Cabang). Tujuan dari silaturahim ini diantaranya ialah untuk memupuk dan memperkuat ukhuwah islamiyah antara masing-masing kader (muslim, IMM) sendiri dengan para dosen maupun tokoh di kalangan Muhammadiyah. Kali ini tokoh yang akan kami kunjungi ialah negarawan dan guru bangsa yang masih dimiliki bangsa ini yaitu Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, MA atau biasa dikenal Buya Syafii.


Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, MA atau Buya Syafii adalah seorang ulama, ilmuwan dan pendidik Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) dan pendiri Maarif Institute, dan juga dikenal sebagai seorang tokoh yang mempunyai komitmen kebangsaan yang tinggi. Setelah meninggalkan posisnya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, kini ia aktif dalam komunitas Maarif Institute. Di samping itu, guru besar IKIP Yogyakarta (Sekaranf UNY) ini juga rajin menulis, di samping menjadi pembicara dalam sejumlah seminar. Sebagian besar tulisannya adalah masalah-masalah Islam, dan dipublikasikan di sejumlah media cetak. Selain itu ia juga menuangkan pikirannya dalam bentuk buku. Diantara buku karyanya ialah, Dinamika Islam dan Islam, Mengapa Tidak?, kedua-duanya diterbitkan oleh Shalahuddin Press, 1984. Kemudian Islam dan Masalah Kenegaraan, yang diterbitkan oleh LP3ES, 1985. Atas karya-karyanya, pada tahun 2008 Syafii mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina. Di usianya yang tahun ini menginjak 80 tahunpun ia masih sangat aktif menulis. Dan untuk mensyukuri usia ke-80 tahunnya tersebut ia dengan spesial menulis buku yang berjudul Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan yang diterbitkan oleh Mizan Pustaka, 2008.

Mungkin seperti itulah kurang lebih perkenalan mengenai siapa Buya Syafii Maarif, kemudian kembali pada kunjungan kami pada Buya. Sore itu kami telah terlebih dahulu janjian dengan Buya untuk bertemu di Masjid Jami’ Nogotirto yang berada tak jauh dari rumah Buya di Nogotirto Sleman. Sebelum mengajak kami untuk berdiskusi Buya terlebih dahulu mengajak kami untuk ikut jama’ah magrib bersama jama’ah masjid yang lain. Kemudian setelah magrib usai kami membentuk forum melingkar di dalam masjid dengan Buya berada tepat di tengah-tengah kami, saya tepat di sebelah kanan Buya dan Kang Atiful (Senior di PC IMM Sleman) duduk persis di samping kiri Buya. Sebelum pembicaraan kami yang lebih jauh, Buya meminta kepada kami yang saat itu hadir ber-14 orang untuk memperkenalkan diri kami masing-masing.

Setelah perkenalan singkat kami selesai, akhirnya Buya mengawali pembicaraan dengan menanyakan apa sebenarnya yang ada dalam pikiran kami masing-masing. Akhirnya saya memberanikan diri untuk mengawali itu dengan sebuah pertanyaan saya kepada Buya yang pertanyaan itu telah lama mengganjal pikiran saya. Buya mempersilahkan saya untuk berbicara pertama kali sebelum teman-teman yang lain. “Buya sebelumnya saya berterimakasih kepada Buya atas waktunya, dan tak lupa saya ucapkan selamat kepada Buya atas syukuran ke-80 tahun usia Buya semoga Buya selalu diberi kesehatan dan umur yang panjang. Begini Buya, dulu ketika di pesantren, salah satu doktrin kepada para santri ialah doktrin anti liberalisme (JIL). Sedangkan saya pernah membaca sebuah tulisan di sebuah web yang menulis keterlibatan Buya sebagai tokoh senior di Jaringan Islam Liberal. Apakah tanggapan Buya mengenai hal itu? Dan bagaimana buya memandang liberalisme dalam Islam?”. Mendengar pertanyaan saya itu Buya tersenyum lalu berkata, “baik bagus, lalu terus yang lain apa yang ada dalam pemikiran anda?”. Kemudian satu-persatu setelah saya menyatakan pernyataan maupun pertanyaannya pada Buya sebelum Buya menjawab pertanyaan-pertanyaan dan menanggapi pemikiran-pemikiran kami.

Pertanyaan dan pemikiran kawan-kawan yang disampaikan pada Buya tak lari dari topik kemuhammadiyahan, keindonesiaan, keislaman, dan kepemudaan. Buyapun tidak menanggapi satu-persatu pertanyaan kami, melainkan Buya memberi penjelasan panjang lebar kepada kami yang secara implisit telah menjawab dan menanggapi pertanyaan kami. Diskusi kami saat itu tertuju pada sebuah inti mengenai ar rujuu’ ilaa alqur’an wa assunnah atau kembali pada ajaran alqur’an dan as sunnah dan hal-hal mengenai keindonesiaan, juga kemuhammadiyahan.

“Indonesia ini memiliki banyak umat Islam dan sangat banyak sekali tokoh dengan keilmuan yang sangat matang di dalamnya, namun mengapa perpecahan dan perdebatan masih ada disana-sini? Nampaknya selama ini kita hanya bisa membaca dan belajar namun sangat sulit untuk mengamalkan. Dalil kan sudah sangat jelas wa laa tafarroquu dan innamal mu’miniina ikhwah? Apakah selama ini kita sudah mengkaji lebih dalam dan menerapkan pesan yang ada dalam dalil yang sudah sangat jelas itu? Mengapa masih banyak perpecahan?” kurang lebih seperti itulah pembicaraan Buya di awal diskusi kami. Lalu Buya melanjutkan, “ajaran yang sangat fundamental dalam Islam (qur’an) yang sudah sangat jelas ini dengan mudahnya kita langkahi begitu saja. Kini saatnya kita berjuang untuk ar rujuu’ ilaa alqur’an wa as sunnah.” “Tak usahlah kalian ini ikut-ikutan memperdebatkan antara sunni dan syi’ah, kita punya alqur’an sebagai al-hudaa dan al-furqan. Jika premium itu hilang kita pasti akan menemukan penggantinya, sedangkan qur’an ini tidak akan pernah hilang.” Sambung Buya.

Lalu muncul pertanyaan dari salah satu kami yang menanyakan perihal muktamar Muhammadiyah yang akan segera berlangsung. Buya menanggapi dengan, “Muhammadiyah selama ini sebagai pembantu negara telah sukses besar tiada duanya dan tidak ada tanda-tanda akan surut. Yang kami harapkan nanti Muhammadiyah akan dipimpin oleh seseorang yang dapat membawa Muhammadiyah semakin bergerak dari pembantu negara menjadi penentu negara. Tapi jangan sekali-kali Muhammadiyah ini menjadi partai politik, karena akan rusak Muhammadiyah itu nanti.” Buya juga mengajak kami untuk kembali melihat dan mengingat pesan yang ada dalam qur’an surah al-hajj ayat 41 yang artinya sebagai berikut, “(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyeru pada yang ma’ruf dan mencegah pada yang munkar, dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” “renungi ayat kekuasaan tersebut.” Ujar Buya pada kami.

Banyak sekali nasehat dan ilmu yang Buya berikan pada kami sore itu, selain kami sebagai generasi muda harapan bangsa ini, juga karena kami adalah angkatan muda Muhammadiyah yang akan menjadi tokoh-tokoh penting yang membawa Muhammadiyah pada kemajuan nantinya. Buya selalu berpesan kepada kami, dan juga kepada kita sebagai generasi muda untuk selalu menggunakan waktu sebaik mungkin. “Pertajam wawasan, perkuat membaca, pakai waktu yang 24 jam sangat panjang itu dengan baik, bolehlah tidur tapi secukupnya. Yang terpenting ialah baca, baca, baca. Kembali pada pesan wahyu pertama, bacalah!.” Begitu pesan Buya dengan nada bicara dan candaan khas Buya. Buya juga menambahkan agar kami benar-benar mampu menjadi petarung sejati, petarung intelektual / intelectual boxer. Petarung yang bukan kepalan tanggung.

“Kecerdasan ialah kemampuan untuk menyesuaikan diri.” Nasehat Buya pada kalimat terakhir Buya sebelum Buya mengakhiri siraman motivasi dan ilmunya pada kami. Sungguh banyak sekali ilmu yang kami dapatkan saat itu, walau durasi diskusi kami tak lebih dari 45 menit hingga adzan isya’ dikumandangkan, Buya mengajak kami  untuk menyimak dengan baik adzan yang terlantun merdu saat itu. Usai adzan kami melaksanakan shalat jama’ah isya’ hingga setelah isya’ kami pamit undur diri dari Buya. Akhirnya sayapun bisa menjawab dengan sendirinya tentang pertanyaan saya mengenai kebenaran berita yang saya terima mengenai keterkaitan Buya dengan liberaalisme di Indonesia. Saya menyimpulkan Buya adalah Buya, sosok negarawan dan guru bangsa yang memiliki kecirikhasan karakter dan pemikiran. Buya adalah Buya yang di usianya ke-80 tahun ini ia masih berfikir dengan sangat tajam dan cerdas. Buya adalah Buya yang sama sekali bukan dan tidak seperti yang saya pikirkan (terkait liberalisme). Buya adalah Buya sang tokoh dan pemikir hebat yang dimiliki Muhammadiyah dan bangsa ini, hingga usianya yang cukup sepuhpun ia masih peduli dan memperjuangkan nasib bangsa ini. Buya adalah Buya yang sedari dulu hingga sekarang selalu dengan gigih memperjuangkan agama dan bangsa ini. Semoga Buya selalu diberi kesehatan oleh Allah, semoga Buya senantiasa dilindungi oleh Allah, semoga semangat dan keilmuan Buya menurun pada kita semua... terimakasih Buya...

Berikut adalah foto dokumentasi kami dengan Buya, oh iya selain ilmu dan nasehat, Buya juga menghadiahkan buku karya beliau di usia ke-80nya yang berjudul “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan”.. semoga bermanfaat dan menambah wawasan kami Buya...


















0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Sample Text

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Flickr Images