Popular Posts
-
Pemulung Dilarang Masuk! Saat berjalan, berkeliling kota misalnya, atau bahkan banyak di sekitar tempat tinggal kita, sering kita...
-
Ilmu Mantiq (Logika) A. Ilmu Mantiq / Logika Ilmu mantik merupakan suatu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah yang dapat me...
-
Pengalaman Seleksi Beasiswa Djarum Plus 2015 – Yogyakarta Assalamualaikum warohmatullohi wa barokatuh sobat mulia... Bagaim...
-
A. Tauhid Tauhid adalah ilmu ketuhanan atau keesaan Allah. Dalam al-Qur’an sendiri sangat banyak ayat yang menjelaskan mengenai Tau...
-
Jenis Puisi Menurut Aminudin (1) Puisi epik , yakni puisi yang di dalamnya mengandung cerita kepahlawanan, baik kepahlawanan y...
-
Dahulu ada seorang sufi yang melakukan sebuah pengembaraan dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mendakwahkan panji kebenaran ...
-
Belajar dari Sang “Guru Bangsa” *Diskusi singkat dengan Buya Syafii Maarif Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif Sore itu tepatnya di ha...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, persoalan pluralisme masih hangat diperbincangkan. Sebenarnya isu...
-
Assalamualaikum sobat :-) Bagaimana kabar sobat hari ini??? semoga selalu dalam limpahan kasih dan sayang Allah ta'ala..amiiiiin....
-
1. Pengertian Fiqhul Lugah - Secara Etimologis : Terdiridari dua kata yaitu الفقه dan اللغة yang bila diartikan maka memiliki pe...
Blogger templates
Blogger news
Blogroll
About
Blog Archive
About Me
- Unknown
Followers
Labels
Pages
Like us on Facebook
Selasa, 24 Maret 2015
A. Tauhid
Tauhid adalah ilmu ketuhanan atau keesaan Allah. Dalam al-Qur’an
sendiri sangat banyak ayat yang menjelaskan mengenai Tauhid ini. Namun disini
saya akan meringkas hanya menjadi beberapa ayat saja yang saya kira paling
objektif dengan ke-Tauhid-an ini.
1. QS. AL-IKHLAS (112) : 1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang
Maha Esa.
2. QS. AL-HASYR (59) : 22-24 : 22.
Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan
yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 23. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia,
raja, yang Maha suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang
Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala
Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. 24. Dialah Allah yang Menciptakan, yang
Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai asmaaul Husna. bertasbih
kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
2. QS. AR-RUUM (30) : 30.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah
atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada
peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui[1168],
[1168] fitrah Allah:
maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama
yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu
tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh
lingkungan.
3. QS. AL FAJR (89) : 27-30 : 27.
Hai jiwa yang tenang. 28.
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. 29. Maka masuklah ke dalam jama'ah
hamba-hamba-Ku. 30. Masuklah ke dalam
syurga-Ku.
4. QS. IBRAHIM (14) : 1.
Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya
kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang
dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi
Maha Terpuji.
5. QS. AL-BAQARAH (2) : 256.
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang
ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah
berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
[162] Thaghut ialah syaitan
dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t.
6. QS. QAAF (50) : 38. Dan
Sesungguhnya Telah kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara
keduanya dalam enam masa, dan kami sedikitpun tidak ditimpa keletihan.
7. QS. AL-IMRAN (3) : 83.
Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal
kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik
dengan suka maupun terpaksa dan Hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.
B. Eskatologis
1. Hari kematian
Umat manusia hidup di dunia ini sangat terbatas dan
tidak bertahan lama, bila dibandingkan dengan eksistensi alam semesta ini.
Rata-rata kehidupan di dunia ini selama 63 tahun, sebagaimana usia Rasulullah
Saw. Apabila ada orang yang dianugerahi usia lebih dari itu, maka itu merupakan
bonus dari Allah Swt. Setiap manusia mesti mengalami akhir kehidupan itu, yang
sering disebut dengan kematian. Hal ini dinyatakan secara tegas di dalam
al-Quranul Karim pada S. Ali ‘Imran: 185;
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا
تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ
وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ
الْغُرُورِ
"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan
baru pada hari kiamatlah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari
neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia beruntung. Kehidupan
dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan."
Kematian ini merupakan salah satu bahasan ilmu
Eskatologi yang termasuk cabang Teologi. Menurut Eliade, Eskatalogi termasuk
bagian dari agama dan filsafat yang menguraikan secara runtut semua persoalan
dan pengetahuan tentang akhir zaman, seperti kematian, alam barzah, kehidupan
surga dan neraka, hukuman bagi yang berdosa, pahala bagi yang berbuat baik, hari
bangkit, pengadilan pada hari itu, dan sebagainya. Secara ringkas Barnhart
menjelaskan "Eschatology is a doctrina of the last or final things,
specially death, judgment, heaven and hell". Eskatologi ialah ajaran
tentang akhir segala sesuatu, khususnya kematian, pembalasan, surga, dan
neraka.
Kematian itu sesuatu yang mesti terjadi pada
seseorang, walaupun ia berusaha menghindari kematian atau berusaha bersembunyi
dan berlindung di tempat yang dikira aman. Seseorang tidak dapat lari dan
menjauhi kematian. Hal ini secara tegas dikemukakan oleh Allah Swt. dalam
firman-Nya, S. An-Nisa: 78;
أَيْنَمَا
تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ ...
"Dimana saja kamu berada, kematian akan
mendapatkanmu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi
kokoh."
Agama Islam memang menganjurkan untuk berobat apabila
menderita sakit dan melakukan upaya-upaya jangan sampai terjangkit penyakit
dengan menjaga kebersihan badan, tempat, dan lingkungan. Rasulullah Saw. juga
banyak memberikan petunjuk dan arahan dalam rangka menjaga kesehatan dan
menghindari dari terjangkit penyakit, seperti sabda beliau:
"Apabila kalian mendengar ada wabah penyakit di
suatu negeri, maka kalian jangan masuk ke negeri itu. Sebaliknya, apabila
kalian berada di suatu negeri di mana terjadi wabah penyakit, maka kalian
jangan keluar dari negeri itu (maksudnya jangan sampai menularkan
penyakit)."
Beliau juga memerintahkan untuk menjauhi orang yang
berpenyakit levra sebagaimana menjauhi singa. Bahkan, beliau juga melarang kita
buang air di air yang digunakan orang banyak untuk mengambil air wudhu, mandi,
atau lain-lainnya, juga buang air di jalan orang banyak dan di bawah naungan
mereka.
Namun demikian, kematian tetap akan mengejar kita,
betapapun kesehatan yang kita usahakan berhasil. Namun demikian, kita memang
tidak boleh menyerah kepada takdir tanpa ikhtiar. Seringkali kita melihat ada
seseorang yang benar-benar kelihatan sehat bugar, tiba-tiba meninggal dunia.
Jadi, kematian tetap akan menjumpai kita, sebagaimana ditegaskan oleh Allah
Swt. dalam S. Al-Jumu'ah: 8;
قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ
فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ
فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
"Katakanlah, sesungguhnya kematian yang kamu lari
darinya, sungguh akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada
(Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu dia memberitakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan".
Bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang kematian
itu? Kematian merupakan sesuatu yang tidak perlu ditakuti, karena kematian itu
merupakan jalan kembali kepada Tuhan yang menciptakan kita semua. Dahulu kita
berada di sisi Allah kemudian kita diturunkan atau dilahirkan di muka bumi ini
menjalani kehidupan sementara, kemudian kita mengakhirinya dengan kematian,
yang sebenarnya kita kembali ke sisi Allah lagi. Dengan kata lain, kita
dipanggil oleh Yang Maha Kuasa agar kembali kepada-Nya. Karena itu, kita sering
mengatakan kepada orang yang meninggal dunia itu "berpulang ke
rahmatullah" atau kita mengucapkan Innalillahi wainna ilaihi raji'un, yang
artinya "sesungguhnya kita ini milik Allah dan kepada-Nyalah kita
kembali".
Pada dasarnya setiap manusia itu mengalami dua kali
kematian dan dua kali kehidupan. Kematian yang pertama ialah sebelum kita
dihidupkan di muka bumi ini dan kematian kedua waktu kita mengakhiri kehidupan
ini. Kehidupan pertama ialah waktu kita hidup di dunia ini yang bersifat
sementara dan kehidupan kedua adalah waktu kita dibangkitkan di akhirat nanti.
Allah Swt. menjelaskan hal itu dalam S. Al-Baqarah: 28;
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا
فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
"Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu
tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan-Nya,
kemudian dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nyalah kamu
dikembalikan?".
Dalam ayat tersebut digunakan kata fa artinya
"lalu" yang menunjukkan langsung, amwatan fa ahyakum (tadinya mati
lalu dihidupkan), dan digunakan kata tsumma artinya "kemudian" yang
menunjukkan tidak langsung tetapi ada senggang waktu faahyakum tsumma yumitukum
(dihidupkan kemudian dimatikan), yakni setelah beberapa tahun umurnya. Betapa
indahnya gaya bahasa al-Qur'an yang sangat tinggi fashahah dan balaghahnya.
Kematian merupakan awal atau pintu gerbang menuju
kehidupan abadi sesuai dengan ayat di atas. Oleh karena itu, dalam al-Qur'an
disebutkan bahwa sesungguhnya kematian itu sebenarnya kehidupan. Artinya, jika
seseorang ingin hidup terus menerus, maka ia harus mengalami kematian terlebih
dahulu. Tanpa kematian tidak akan ada kehidupan abadi. Atau dalam istilah
al-Qur'an, orang yang mati disebut "Kembali kepada Sang Pencipta".
Dalam perspektif al-Qur'an, hidup dan mati merupakan
ajang persaingan amal di antara manusia. Dalam hal ini dikhususkan kepada
manusia, karena manusialah yang diberi beban untuk menjalankan segala aturan
yang telah ditetapkan kepadanya. Dengan daya nalarnya manusia dapat memilah dan
memisahkan antara yang baik dan yang buruk atau yang benar dan yang salah.
Dengan begitu, Allah dapat mengevaluasi yang terbaik amalnya di kalangan
manusia, sebagaimana ditegaskan Allah dalam S. Al-Mulk: 2 :
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ
أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia
menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun."
Sementara itu, Rasulullah Saw. menggambarkan kehidupan
dunia ini laksana ladang, addunya mazra'atul akhirah, ladang untuk menanam
tanaman berdasarkan timbangan nalar manusia tadi. Jika di dunia ini kita
menanam mangga, umpamanya, maka di akhirat nanti kita akan mendapatkan buah
mangga. Sebaliknya, jika kita menanamkan kopi, maka akan tumbuh buah kopi juga.
Apabila seseorang menanam kebaikan, maka akan memperoleh balasan kebaikan pula,
yakni surga. Sebaliknya, apabila menanam kejahatan, maka buahnya juga
kejahatan, yakni neraka.
Mengingat penting persolan kematian yang berkaitan
dengan akhirat, maka al-Qur'an banyak menyebutkan pesan-pesan tentang akhir
segala sesuatu. Surat-surat Makiyah umumnya mengandung pesan-pesan ini. Hal ini
dimaksudkan agar manusia sebelum mengamalkan ajaran agama, terlebih dahulu
mempunyai motivasi untuk melakukannya, karena setiap apa yang dilakukan itu
akan diberi balasan. Kemudian, keyakinan kepada hari akhirat menjadi bagian
yang sangat esensial dalam beragama. Bahkan, dalam al-Qur'an pernyataan tentang
keimanan kepada Allah senantiasa digandengkan dengan hari akhirat. Umpamanya,
termaktub dalam S. Al-Baqarah: 62; "Barangsiapa beriman kepada Allah dan
hari kemudian dan beramal shaleh maka mereka akan memperoleh pahala."
2. Hari kebangkitan
Menurut al-Qur‟an, hari kebangkitan adalah sangat
penting karena berbagai alasan. Pertama, moral dan keadilan sebagai konstitusi
realitas menurut al-Qur‟an adalah kualitas untuk menilai perbuatan
manusia, karena keadilan tidak dapat dijamin berdasarkan apa-apa yang terjadi
di atas dunia. Kedua, tujuan-tujuan hidup harus dijelaskan dengan
seterang-terangnya sehingga manusia dapat melihat apa yang telah
diperjuangkannya dan apa tujuan-tujuan yang sesungguhnya dari kehidupan ini.
Ketiga, yang sangat erat kaitannya dengan alasan kedua: perbantahan, perbedaan
pendapat, dan konflik di antara orientasi-orientasi manusia akhirnya harus
diselesaikan.
Sementara itu, menurut Abd. Rahman Dahlan, ada tujuh
cara al-Qur‟an ketika memastikan akan datang dan terjadinya hari kebangkitan:
Pertama, hari kebangkitan adalah hari pembalasan. Al-Qur‟an menerangkan
peristiwa-peristiwa yang akan terjadi pada hari kebangkitan merupakan
pembalasan paling sempurna atas semua amal perbuatan manusia. Kedua, Allah
bersumpah dengan hari kebangkitan. Allah bersumpah dengan menggunakan hari
kebangkitan sebanyak tiga kali, misalnya dalam surat al-Qiyamah ayat1. Ketiga,
hari kebangkitan terjadi karena kekuasaan Allah. Kebangkitan kembali seluruh
manusia setelah kematian merupakan salah satu bukti kekuasaan Allah. Keempat,
hari kebangkitan merupakan perulangan penciptaan manusia. Kelima, membangkitkan
manusia adalah merupakan hal mudah bagi Allah. Keenam, siksa yang ditimpakan
Allah di dunia merupakan contoh siksa akherat. Ketujuh, mengemukakan contoh
tentang cara Allah menghidupkan orang yang telah mati.
Demikian kuat pernyataan Tuhan tentang kepastian akan
datangnya hari kebangkitan. Kerasnya pernyataan Tuhan tentang hari kebangkitan
yang ditujukan kepada orang Arab Jahiliyah adalah karena sikap keras kepala
mereka. Sesungguhnya Tuhan telah mengajukan argumentasi dari berbagai sudut
pandang agar mereka bisa mengerti tentang keberadaan hari kebangkitan. Mulai
dari penjelasan tentang penciptaan alam, manusia, ibrah dengan kisah-kisah umat
terdahulu yang membangkang ajaran nabinya, dan akibat-akibat yang akan dialami
manusia pada hari akhirat kelak. Kemudian digambarkan pula tentang
kejadian-kejadian dahsyat yang menandai datangnya hari kebangkitan. Sungguh ini
adalah peringatan yang sangat keras dari Tuhan.
3. Balasan di akhirat
Kata
jannah secara etimologis berasal dari جَنَّ (janna) dengan
derivasi الجُنَّةُ yang berarti السِّترُ (tutup tabir, penutup atau
tertutup). Dengan demikian jannah yang dimaksud oleh orang muslim
sebagai balasan di akhirat masih tertutup (tersembunyi) sampai hari ini. Kata
jannah dalam percakapan bangsa Arab (lihat lisanul ‘Arab) hanya dimaksudkan
pada sebuah taman penuh dengan pohon kurma dan anggur. Apabila kedua
pepohonan ini tidak terdapat dalam suatu tempat, maka secara umum tempat
tersebut dinamakan kebun, ذات الشجر الحديقة.[] Dari kata janna pula muncul kata جِنَّة (jinnah,
sekelompok jin) dan جنين (janin) yang keduanya bersifat tersembunyi atau
tertutup, demikian pula جن (jin, mahluk yang tersembunyi), مجنون (gila,
yang tertutup akal sehatnya atau kerasukan jin) danجُنَّة (junnah, perisai yang melidungi
(menutupi) diri dari serangan lawan), sehingga surga seperti taman yang
tersembunyi di balik perisai atau tirai dimana setiap orang bahkan mahluk
haluspun tergila-gila padanya. Sedangkan kata surga dalam bahasa Indonesia itu
sendiri adalah sebuah tempat di alam akhirat yang dipercaya oleh
para penganut beberapa agama sebagai lokasi berkumpulnya roh-roh manusia yang
semasa hidup di dunia berbuat kebajikan sesuai ajaran agamanya. Istilah ini berasal
dari bahasa Sansekerta yaitu Svarga. Dalam bahasa Jawa kata tersebut diserap
menjadi Swarga. Kata jannah dengan seluruh kata yang seakar dengannya terulang
sebanyak 208 kali.
Kata
jannah sendiri terulang sebanyak 144 kali; 87 kali di surah makkiyah dan 57
kali di surah madaniyah; 68 dalam bentuk mufrad, 7 dalam bentuk mutsanna dan 69
dalam bentuk jamak. Kata jannah dalam al-Quran memiliki dua arti
yaitu kebun dan surga. Jannah yang berarti kebun terulang sebanyak 25 kali pada
20 ayat yang tersebar di 12 surah; 10 surah makkiyah dan 2 surah madaniyah.
Ayat-ayat tersebut antara lain terdapat dalam surat Al-Baqarah: 265, Al-An’am:
99, Al-An’am: 141, Ar-Ra’ad: 4, Al-Kahfi: 33, Al-Mu’minun: 16, dan lain-lain.
Sementara 119 kata jannah yang lainnya dapat diartikan surga, seperti yang
telah diungkapkan dalam definisi sebelumnya. Ayat-ayat tersebut terdapat dalam
Al-Qur’an Surat Al-Baqarah: 111, Ibrahim: 23, Al-A’raf: 88, dan lain-lain.
Makna jannah sebagai kebun lebih banyak digunakan pada surah makkiyah.
C. Ghaib
Ghaib secara bahasa adalah sesuatu yang tidak tampak. Sedangkan
ghaib menurut istilah adalah sesuatu yang tidak tampak oleh panca indra tapi
ada dalil tertulis yang menjelaskan akan keberadaannya. Apabila ada dalil dari
ayat atau hadits yang shahih akan keberadaan sesuatu yang ghaib itu lalu
diingkari, maka pengingkaran itu bisa menjadikan pelakunya kafir. Karena dia
telah mengingkari bagian dari ajaran agama yang penting. Misalnya keberadaan makhluk Allah yang bernama
jin. Allah telah menginformasikan kepada kita semua akan keberadaan jin di
dalam al-Qur’an bahkan salah satu dari surat al-Qur’an ada yang bernama surat
Jin, yaitu surat ke 72. Allah berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Begitu
juga dalam hadits Rasulullah telah bersabda, “Malaikat diciptakan dari cahaya
dan jin diciptakan dari nyala api dan Adam diciptakan dari apa yang telah
dijelaskan kepada kalian (tanah).” (HR. Muslim). Dalam ayat dan hadits di atas
dijelaskan bahwa Allah telah menciptakan Jin sebagaimana Dia telah menciptakan
manusia dan malaikat. Berarti keberadaan jin tidak boleh kita ingkari, walaupun
kita tidak bisa melihat wujud dan keberadaan mereka, sebagaimana yang
ditegaskan oleh Allah “Sesungguhnya ia (iblis) dan teman-temannya melihat kamu
(manusia) dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al-Araf:
27). Oleh sebab itu makhluk Allah yang bernama jin itu dikategorikan sebagai
makhluk ghaib, yang informasi keberadaannya ada dalam nash (teks), tapi kita
tidak bisa melihatnya dengan panca indra kita. Al-Quran sendiri telah
menyebutkan kata “ghaib” kurang lebih sebanyak 56 kali. Dan di permulaan surat
al-Baqarah, Allah meyebutkan salah satu dari karakter orang-orang yang beftaqwa
adalah, orang-orang yang beriman kepada yang ghaib. “Alif Lam Mim. Kitab
al-Qur’an ini tidak ada keraguan didalam padanya, petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib..” (QS. Al-Baqarah: 1 -
3). Ayat tersebut sebagai dalil akan pentingnya mengetahui hal yang ghaib
secara benar, lalu mempercayainya dan menjadikannya sebagai pilar-pilar
keimanan. Kalau kita salah dalam memahami hal yang ghaib, berarti salah pula
pilar iman yang kita miliki. Maka dari itu untuk memahami hal yang ghaib kita
membutuhkan referensi yang valid dan akurat, agar tidak menghasilkan pemahaman
yang salah dan menyimpang. Dan referensi itu bernama al-Qur’an dan al-Hadits.
Seorang ahli tafsir yang bernama Abul Aliyah berkata, “Yang dimaksud dengan
ghaib pada ayat tersebut adalah Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya,
Rasul-rasul-Nya, dan Hari akhir, Surga dan Neraka-Nya, pertemuan dengan-Nya
serta hari kebangkitan dan kehidupan setelah kematian”. (Tafsir lbnu Katsir:
l/45). Dan kalau kita kalkulasi jumlah prosentase hal yang ghaib di sekitar
kita terutama masalah aqidah, maka akan kita dapatkan prosentase hal yang ghaib
dan harus kita percayai akan lebih banyak jumlahnya dari pada yang nyata. Tapi
karena keberadaannya ada dalam al-Qur’an dan disebutkan Rasulullah dalam
haditsnya yang shahih, maka kita sebagai orang yang beriman dan bertaqwa harus
mempercayainya dan meyakini dengan seyakin-yakinnya tanpa ragu sama sekali.
Jadi, kita tidak boleh bicara tentang suatu yang ghaib hanya berdasarkan akal
pikiran belaka, atau bersumber dari bisikan-bisikan ghaib, mimipi-mimpi, atau
mitos-mitos yang berkembang. Kesemuanya itu harus kita filter dengan syari’at
lslam. Bila sesuai dan disahkan oleh syariat, berarti kita terima dan kita
jadikan sebagai pilar keimanan. Tapi bila menyimpang dari syari’at atau
bertolak belakang, maka harus kita tolak kebenarannya. Masalah ghaib tidak
hanya seputar kehidupan jin dan syetan sebagaimana yang banyak diekspos oleh
media massa akhir-akhir ini. Karena jin dan syetan hanya bagian kecil dari
masalah keghaiban yang sangat luas cakupannya. Kita belum pernah melihat
suratan taqdir kita dalam mengarungi kehidupan di dunia ini, tapi kita harus
percaya akan adanya takdir yang telah digariskan Allah untuk kita, yang baik
maupun yang buruk. Begitu juga dengan umur kita, Allah telah menentukan
batasannya dan kita harus mempercayainya, walaupun kita belum tahu berapa lama
ketentuan umur kita. Dan masih banyak hal yang berkaitan dengan kehidupan kita,
yang masuk dalam kategori ghaib karena tidak bisa kita indra dengan panca indra
kita. “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan
dan di lautan, dan tiada selembar daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya
(pula). Dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tiada suatu
pun yang basah dan kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh)”. (QS. Al-An’am: 59).
Label:
Pemikiran Islam dan Umum
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar