Popular Posts

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

About

About Me

Followers

Pages

Like us on Facebook

Selasa, 24 Maret 2015


A. Tauhid
Tauhid adalah ilmu ketuhanan atau keesaan Allah. Dalam al-Qur’an sendiri sangat banyak ayat yang menjelaskan mengenai Tauhid ini. Namun disini saya akan meringkas hanya menjadi beberapa ayat saja yang saya kira paling objektif dengan ke-Tauhid-an ini.


1. QS. AL-IKHLAS (112) : 1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
2. QS. AL-HASYR (59) : 22-24 : 22.  Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 23.  Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, raja, yang Maha suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. 24.  Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai asmaaul Husna. bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
2. QS. AR-RUUM (30) : 30.  Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui[1168],
[1168]  fitrah Allah: maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
3. QS. AL FAJR (89) : 27-30 : 27.  Hai jiwa yang tenang. 28.  Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. 29.  Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku. 30.  Masuklah ke dalam syurga-Ku.
4. QS. IBRAHIM (14) : 1.  Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.
5. QS. AL-BAQARAH (2) : 256.  Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
[162]  Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t.
6. QS. QAAF (50) : 38.  Dan Sesungguhnya Telah kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan kami sedikitpun tidak ditimpa keletihan.
7. QS. AL-IMRAN (3) : 83.  Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan Hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.
B. Eskatologis
1. Hari kematian
Umat manusia hidup di dunia ini sangat terbatas dan tidak bertahan lama, bila dibandingkan dengan eksistensi alam semesta ini. Rata-rata kehidupan di dunia ini selama 63 tahun, sebagaimana usia Rasulullah Saw. Apabila ada orang yang dianugerahi usia lebih dari itu, maka itu merupakan bonus dari Allah Swt. Setiap manusia mesti mengalami akhir kehidupan itu, yang sering disebut dengan kematian. Hal ini dinyatakan secara tegas di dalam al-Quranul Karim pada S. Ali ‘Imran: 185;
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan baru pada hari kiamatlah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan."
Kematian ini merupakan salah satu bahasan ilmu Eskatologi yang termasuk cabang Teologi. Menurut Eliade, Eskatalogi termasuk bagian dari agama dan filsafat yang menguraikan secara runtut semua persoalan dan pengetahuan tentang akhir zaman, seperti kematian, alam barzah, kehidupan surga dan neraka, hukuman bagi yang berdosa, pahala bagi yang berbuat baik, hari bangkit, pengadilan pada hari itu, dan sebagainya. Secara ringkas Barnhart menjelaskan "Eschatology is a doctrina of the last or final things, specially death, judgment, heaven and hell". Eskatologi ialah ajaran tentang akhir segala sesuatu, khususnya kematian, pembalasan, surga, dan neraka.
Kematian itu sesuatu yang mesti terjadi pada seseorang, walaupun ia berusaha menghindari kematian atau berusaha bersembunyi dan berlindung di tempat yang dikira aman. Seseorang tidak dapat lari dan menjauhi kematian. Hal ini secara tegas dikemukakan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya, S. An-Nisa: 78;
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ ...
"Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkanmu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh."
Agama Islam memang menganjurkan untuk berobat apabila menderita sakit dan melakukan upaya-upaya jangan sampai terjangkit penyakit dengan menjaga kebersihan badan, tempat, dan lingkungan. Rasulullah Saw. juga banyak memberikan petunjuk dan arahan dalam rangka menjaga kesehatan dan menghindari dari terjangkit penyakit, seperti sabda beliau:
"Apabila kalian mendengar ada wabah penyakit di suatu negeri, maka kalian jangan masuk ke negeri itu. Sebaliknya, apabila kalian berada di suatu negeri di mana terjadi wabah penyakit, maka kalian jangan keluar dari negeri itu (maksudnya jangan sampai menularkan penyakit)."
Beliau juga memerintahkan untuk menjauhi orang yang berpenyakit levra sebagaimana menjauhi singa. Bahkan, beliau juga melarang kita buang air di air yang digunakan orang banyak untuk mengambil air wudhu, mandi, atau lain-lainnya, juga buang air di jalan orang banyak dan di bawah naungan mereka.
Namun demikian, kematian tetap akan mengejar kita, betapapun kesehatan yang kita usahakan berhasil. Namun demikian, kita memang tidak boleh menyerah kepada takdir tanpa ikhtiar. Seringkali kita melihat ada seseorang yang benar-benar kelihatan sehat bugar, tiba-tiba meninggal dunia. Jadi, kematian tetap akan menjumpai kita, sebagaimana ditegaskan oleh Allah Swt. dalam S. Al-Jumu'ah: 8;
قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
"Katakanlah, sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya, sungguh akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan".
Bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang kematian itu? Kematian merupakan sesuatu yang tidak perlu ditakuti, karena kematian itu merupakan jalan kembali kepada Tuhan yang menciptakan kita semua. Dahulu kita berada di sisi Allah kemudian kita diturunkan atau dilahirkan di muka bumi ini menjalani kehidupan sementara, kemudian kita mengakhirinya dengan kematian, yang sebenarnya kita kembali ke sisi Allah lagi. Dengan kata lain, kita dipanggil oleh Yang Maha Kuasa agar kembali kepada-Nya. Karena itu, kita sering mengatakan kepada orang yang meninggal dunia itu "berpulang ke rahmatullah" atau kita mengucapkan Innalillahi wainna ilaihi raji'un, yang artinya "sesungguhnya kita ini milik Allah dan kepada-Nyalah kita kembali".
Pada dasarnya setiap manusia itu mengalami dua kali kematian dan dua kali kehidupan. Kematian yang pertama ialah sebelum kita dihidupkan di muka bumi ini dan kematian kedua waktu kita mengakhiri kehidupan ini. Kehidupan pertama ialah waktu kita hidup di dunia ini yang bersifat sementara dan kehidupan kedua adalah waktu kita dibangkitkan di akhirat nanti. Allah Swt. menjelaskan hal itu dalam S. Al-Baqarah: 28;
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
"Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan-Nya, kemudian dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan?".
Dalam ayat tersebut digunakan kata fa artinya "lalu" yang menunjukkan langsung, amwatan fa ahyakum (tadinya mati lalu dihidupkan), dan digunakan kata tsumma artinya "kemudian" yang menunjukkan tidak langsung tetapi ada senggang waktu faahyakum tsumma yumitukum (dihidupkan kemudian dimatikan), yakni setelah beberapa tahun umurnya. Betapa indahnya gaya bahasa al-Qur'an yang sangat tinggi fashahah dan balaghahnya.
Kematian merupakan awal atau pintu gerbang menuju kehidupan abadi sesuai dengan ayat di atas. Oleh karena itu, dalam al-Qur'an disebutkan bahwa sesungguhnya kematian itu sebenarnya kehidupan. Artinya, jika seseorang ingin hidup terus menerus, maka ia harus mengalami kematian terlebih dahulu. Tanpa kematian tidak akan ada kehidupan abadi. Atau dalam istilah al-Qur'an, orang yang mati disebut "Kembali kepada Sang Pencipta".
Dalam perspektif al-Qur'an, hidup dan mati merupakan ajang persaingan amal di antara manusia. Dalam hal ini dikhususkan kepada manusia, karena manusialah yang diberi beban untuk menjalankan segala aturan yang telah ditetapkan kepadanya. Dengan daya nalarnya manusia dapat memilah dan memisahkan antara yang baik dan yang buruk atau yang benar dan yang salah. Dengan begitu, Allah dapat mengevaluasi yang terbaik amalnya di kalangan manusia, sebagaimana ditegaskan Allah dalam S. Al-Mulk: 2 :
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun."
Sementara itu, Rasulullah Saw. menggambarkan kehidupan dunia ini laksana ladang, addunya mazra'atul akhirah, ladang untuk menanam tanaman berdasarkan timbangan nalar manusia tadi. Jika di dunia ini kita menanam mangga, umpamanya, maka di akhirat nanti kita akan mendapatkan buah mangga. Sebaliknya, jika kita menanamkan kopi, maka akan tumbuh buah kopi juga. Apabila seseorang menanam kebaikan, maka akan memperoleh balasan kebaikan pula, yakni surga. Sebaliknya, apabila menanam kejahatan, maka buahnya juga kejahatan, yakni neraka.
Mengingat penting persolan kematian yang berkaitan dengan akhirat, maka al-Qur'an banyak menyebutkan pesan-pesan tentang akhir segala sesuatu. Surat-surat Makiyah umumnya mengandung pesan-pesan ini. Hal ini dimaksudkan agar manusia sebelum mengamalkan ajaran agama, terlebih dahulu mempunyai motivasi untuk melakukannya, karena setiap apa yang dilakukan itu akan diberi balasan. Kemudian, keyakinan kepada hari akhirat menjadi bagian yang sangat esensial dalam beragama. Bahkan, dalam al-Qur'an pernyataan tentang keimanan kepada Allah senantiasa digandengkan dengan hari akhirat. Umpamanya, termaktub dalam S. Al-Baqarah: 62; "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari kemudian dan beramal shaleh maka mereka akan memperoleh pahala."
2. Hari kebangkitan
Menurut al-Qur‟an, hari kebangkitan adalah sangat penting karena berbagai alasan. Pertama, moral dan keadilan sebagai konstitusi realitas menurut al-Qur‟an adalah kualitas untuk menilai perbuatan manusia, karena keadilan tidak dapat dijamin berdasarkan apa-apa yang terjadi di atas dunia. Kedua, tujuan-tujuan hidup harus dijelaskan dengan seterang-terangnya sehingga manusia dapat melihat apa yang telah diperjuangkannya dan apa tujuan-tujuan yang sesungguhnya dari kehidupan ini. Ketiga, yang sangat erat kaitannya dengan alasan kedua: perbantahan, perbedaan pendapat, dan konflik di antara orientasi-orientasi manusia akhirnya harus diselesaikan.
Sementara itu, menurut Abd. Rahman Dahlan, ada tujuh cara al-Qur‟an ketika memastikan akan datang dan terjadinya hari kebangkitan: Pertama, hari kebangkitan adalah hari pembalasan. Al-Qur‟an menerangkan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi pada hari kebangkitan merupakan pembalasan paling sempurna atas semua amal perbuatan manusia. Kedua, Allah bersumpah dengan hari kebangkitan. Allah bersumpah dengan menggunakan hari kebangkitan sebanyak tiga kali, misalnya dalam surat al-Qiyamah ayat1. Ketiga, hari kebangkitan terjadi karena kekuasaan Allah. Kebangkitan kembali seluruh manusia setelah kematian merupakan salah satu bukti kekuasaan Allah. Keempat, hari kebangkitan merupakan perulangan penciptaan manusia. Kelima, membangkitkan manusia adalah merupakan hal mudah bagi Allah. Keenam, siksa yang ditimpakan Allah di dunia merupakan contoh siksa akherat. Ketujuh, mengemukakan contoh tentang cara Allah menghidupkan orang yang telah mati.
Demikian kuat pernyataan Tuhan tentang kepastian akan datangnya hari kebangkitan. Kerasnya pernyataan Tuhan tentang hari kebangkitan yang ditujukan kepada orang Arab Jahiliyah adalah karena sikap keras kepala mereka. Sesungguhnya Tuhan telah mengajukan argumentasi dari berbagai sudut pandang agar mereka bisa mengerti tentang keberadaan hari kebangkitan. Mulai dari penjelasan tentang penciptaan alam, manusia, ibrah dengan kisah-kisah umat terdahulu yang membangkang ajaran nabinya, dan akibat-akibat yang akan dialami manusia pada hari akhirat kelak. Kemudian digambarkan pula tentang kejadian-kejadian dahsyat yang menandai datangnya hari kebangkitan. Sungguh ini adalah peringatan yang sangat keras dari Tuhan.
3. Balasan di akhirat
Kata jannah secara etimologis berasal dari جَنَّ   (janna) dengan derivasi الجُنَّةُ yang berarti السِّترُ (tutup tabir, penutup atau tertutup).  Dengan demikian jannah yang dimaksud oleh orang muslim sebagai balasan di akhirat masih tertutup (tersembunyi) sampai hari ini. Kata jannah dalam percakapan bangsa Arab (lihat lisanul ‘Arab) hanya dimaksudkan pada sebuah taman penuh dengan pohon kurma dan anggur.  Apabila kedua pepohonan ini tidak terdapat dalam suatu tempat, maka secara umum tempat tersebut dinamakan kebun, ذات الشجر الحديقة.[] Dari kata janna pula muncul kata جِنَّة  (jinnah, sekelompok jin) dan جنين  (janin) yang keduanya bersifat tersembunyi atau tertutup, demikian pula جن  (jin, mahluk yang tersembunyi), مجنون  (gila, yang tertutup akal sehatnya atau kerasukan jin) danجُنَّة  (junnah, perisai yang melidungi (menutupi) diri dari serangan lawan), sehingga surga seperti taman yang tersembunyi di balik perisai atau tirai dimana setiap orang bahkan mahluk haluspun tergila-gila padanya. Sedangkan kata surga dalam bahasa Indonesia itu sendiri adalah sebuah tempat di alam akhirat  yang dipercaya oleh para penganut beberapa agama sebagai lokasi berkumpulnya roh-roh manusia yang semasa hidup di dunia berbuat kebajikan sesuai ajaran agamanya. Istilah ini berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Svarga. Dalam bahasa Jawa kata tersebut diserap menjadi Swarga. Kata jannah dengan seluruh kata yang seakar dengannya terulang sebanyak 208 kali.
Kata jannah sendiri terulang sebanyak 144 kali; 87 kali di surah makkiyah dan 57 kali di surah madaniyah; 68 dalam bentuk mufrad, 7 dalam bentuk mutsanna dan 69 dalam bentuk jamak. Kata jannah dalam al-Quran memiliki  dua arti yaitu kebun dan surga. Jannah yang berarti kebun terulang sebanyak 25 kali pada 20 ayat yang tersebar di 12 surah; 10 surah makkiyah dan 2 surah madaniyah. Ayat-ayat tersebut antara lain terdapat dalam surat Al-Baqarah: 265, Al-An’am: 99, Al-An’am: 141, Ar-Ra’ad: 4, Al-Kahfi: 33, Al-Mu’minun: 16, dan lain-lain. Sementara 119 kata jannah yang lainnya dapat diartikan surga, seperti yang telah diungkapkan dalam definisi sebelumnya. Ayat-ayat tersebut terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah: 111, Ibrahim: 23, Al-A’raf: 88, dan lain-lain. Makna jannah sebagai kebun lebih banyak digunakan pada surah makkiyah.
                                                                                                                     
C. Ghaib

Ghaib secara bahasa adalah sesuatu yang tidak tampak. Sedangkan ghaib menurut istilah adalah sesuatu yang tidak tampak oleh panca indra tapi ada dalil tertulis yang menjelaskan akan keberadaannya. Apabila ada dalil dari ayat atau hadits yang shahih akan keberadaan sesuatu yang ghaib itu lalu diingkari, maka pengingkaran itu bisa menjadikan pelakunya kafir. Karena dia telah mengingkari bagian dari ajaran agama yang penting.  Misalnya keberadaan makhluk Allah yang bernama jin. Allah telah menginformasikan kepada kita semua akan keberadaan jin di dalam al-Qur’an bahkan salah satu dari surat al-Qur’an ada yang bernama surat Jin, yaitu surat ke 72. Allah berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Begitu juga dalam hadits Rasulullah telah bersabda, “Malaikat diciptakan dari cahaya dan jin diciptakan dari nyala api dan Adam diciptakan dari apa yang telah dijelaskan kepada kalian (tanah).” (HR. Muslim). Dalam ayat dan hadits di atas dijelaskan bahwa Allah telah menciptakan Jin sebagaimana Dia telah menciptakan manusia dan malaikat. Berarti keberadaan jin tidak boleh kita ingkari, walaupun kita tidak bisa melihat wujud dan keberadaan mereka, sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah “Sesungguhnya ia (iblis) dan teman-temannya melihat kamu (manusia) dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al-Araf: 27). Oleh sebab itu makhluk Allah yang bernama jin itu dikategorikan sebagai makhluk ghaib, yang informasi keberadaannya ada dalam nash (teks), tapi kita tidak bisa melihatnya dengan panca indra kita. Al-Quran sendiri telah menyebutkan kata “ghaib” kurang lebih sebanyak 56 kali. Dan di permulaan surat al-Baqarah, Allah meyebutkan salah satu dari karakter orang-orang yang beftaqwa adalah, orang-orang yang beriman kepada yang ghaib. “Alif Lam Mim. Kitab al-Qur’an ini tidak ada keraguan didalam padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib..” (QS. Al-Baqarah: 1 - 3). Ayat tersebut sebagai dalil akan pentingnya mengetahui hal yang ghaib secara benar, lalu mempercayainya dan menjadikannya sebagai pilar-pilar keimanan. Kalau kita salah dalam memahami hal yang ghaib, berarti salah pula pilar iman yang kita miliki. Maka dari itu untuk memahami hal yang ghaib kita membutuhkan referensi yang valid dan akurat, agar tidak menghasilkan pemahaman yang salah dan menyimpang. Dan referensi itu bernama al-Qur’an dan al-Hadits. Seorang ahli tafsir yang bernama Abul Aliyah berkata, “Yang dimaksud dengan ghaib pada ayat tersebut adalah Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan Hari akhir, Surga dan Neraka-Nya, pertemuan dengan-Nya serta hari kebangkitan dan kehidupan setelah kematian”. (Tafsir lbnu Katsir: l/45). Dan kalau kita kalkulasi jumlah prosentase hal yang ghaib di sekitar kita terutama masalah aqidah, maka akan kita dapatkan prosentase hal yang ghaib dan harus kita percayai akan lebih banyak jumlahnya dari pada yang nyata. Tapi karena keberadaannya ada dalam al-Qur’an dan disebutkan Rasulullah dalam haditsnya yang shahih, maka kita sebagai orang yang beriman dan bertaqwa harus mempercayainya dan meyakini dengan seyakin-yakinnya tanpa ragu sama sekali. Jadi, kita tidak boleh bicara tentang suatu yang ghaib hanya berdasarkan akal pikiran belaka, atau bersumber dari bisikan-bisikan ghaib, mimipi-mimpi, atau mitos-mitos yang berkembang. Kesemuanya itu harus kita filter dengan syari’at lslam. Bila sesuai dan disahkan oleh syariat, berarti kita terima dan kita jadikan sebagai pilar keimanan. Tapi bila menyimpang dari syari’at atau bertolak belakang, maka harus kita tolak kebenarannya. Masalah ghaib tidak hanya seputar kehidupan jin dan syetan sebagaimana yang banyak diekspos oleh media massa akhir-akhir ini. Karena jin dan syetan hanya bagian kecil dari masalah keghaiban yang sangat luas cakupannya. Kita belum pernah melihat suratan taqdir kita dalam mengarungi kehidupan di dunia ini, tapi kita harus percaya akan adanya takdir yang telah digariskan Allah untuk kita, yang baik maupun yang buruk. Begitu juga dengan umur kita, Allah telah menentukan batasannya dan kita harus mempercayainya, walaupun kita belum tahu berapa lama ketentuan umur kita. Dan masih banyak hal yang berkaitan dengan kehidupan kita, yang masuk dalam kategori ghaib karena tidak bisa kita indra dengan panca indra kita. “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada selembar daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula). Dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tiada suatu pun yang basah dan kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”. (QS. Al-An’am: 59).

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Sample Text

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Flickr Images