Popular Posts

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

About

About Me

Followers

Pages

Like us on Facebook

Selasa, 24 Maret 2015

Dewasa ini, persoalan pluralisme masih  hangat diperbincangkan. Sebenarnya isu pluralisme telah lama hadir, bahkan bisa dikatakan setua usia manusia dan akan ada selama kehidupan belum usai, hanya saja terus menerus akan berkembang seiring dengan kemajuan  zaman.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita menjalani kehidupan yang majemuk secara ilmiah dan wajar apa adanya. Namun seiring dengan kepentingan ideologis, sosial, politik, dll., realitas pluralisme berada pada puncak kesadaran dan menjadi pusat perhatian. Berkenaan dengan munculnya paham pluralisme terutama pluralisme agama beberapa tahun terakhir ini, maka wacana tentang pluralisme agama menjadi tema penting yang banyak mendapat sorotan dari sejumlah cendikiawan muslim.  Bahkan  memunculkan pro dan kontra dikalangan para pemikir, cendikiawan dan para tokoh agama.

Menarik, dalam artian memprihatinkan karena persoalan itu terjadi di Indonesia, yang
notabene bukan negara agama, tetapi yang selalu mengatakan religius; bukan pula negara sekuler, tetapi yang semakin terbuka kepada modernisasi; bukan juga negara yang tidak menjunjung tinggi demokrasi, tetapi yang berdasarkan pada Pancasila, yang menjunjung tinggi demokrasi. Negara yang lahir dan terbentuk dari dan oleh masyarakat plural, termasuk di dalamnya adalah pluralitas agama. Sebuah fakta dalam masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dengan Pluralisme.
Terlebih lagi ketika MUI pada bulan Juli 2005 yang lalu mengharamkan pluralisme agama, maka persoalan ini telah mencuat ke permukaan dan telah menghiasi halaman-halaman media masa cetak maupun elektronik. Bila dicermati, maka perbedaan ini nampaknya berkaitan dengan kesalahpahaman pemaknaan pluralisme agama-budaya, perbedaan di dalam memahami isyarat-isyarat ayat Al-Qur'an tentang pluralitas maupun tentang klaim kebenaran dalam suatu agama.
Lalu sebenarnya hal apakah yang menjadikan pluralisme itu muncul dan meroket menjadi sesuatu yang sangat penting?
Mengingat hal itu, maka penulis mencoba untuk memaparkan sebab-sebab timbulnya pluralisme agama.

1.      Apakah definisi  pluralisme agama?
2.      Mengapa terjadi pluralisme agama?
3.      Mengapa ada pluralisme dalam agama islam?
4.      Bagaimanakah pandangan kaum agamawan tentang pluralisme?














Secara etimologis, asal kata pluralisme adalah pluralism (bahasa Inggris) yang berarti plural (beragam), jamak, atau majemuk. Sedangkan secara terminologis, pluralisme yaitu suatu pandangan atau paham yang memiliki prinsip bahwa keanekaragaman itu jangan menghalangi untuk bisa hidup berdampingan secara damai dalam satu masyarakat yang sama.[1]
Berangkat dari definisi pluralisme, maka pluralisme agama adalah “sebuah pandangan yang mendorong bahwa berbagai macam agama yang ada dalam satu masyarakat harus saling mendukung untuk bisa hidup secara damai.[2]
Sedangkan dari definisi yang lain, pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti yang luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahakan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama.[3]
Pemikiran pluralisme agama muncul pada masa yang disebut Pencerahan (Enlightenment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang sering disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama.[4]
 Sebab-sebab lahirnya teori pluralisme agama banyak dan beragam, sekaligus kompleks. Alasan keragaman itu adalah kebudayaan-kebudayaan yang berbeda menghasilkan perbedaan tanggapan yang nyata.[5] Namun secara umum dapat diklasifikasikan dalam dua faktor utama yaitu faktor internal (ideologis) dan faktor eksternal, yang mana satu faktor dengan faktor lainnya saling mempengaruhi dan berhubungan erat. Faktor internal merupakan faktor yang timbul akibat tuntutan akan kebenaran yang mutlak dari agama-agama itu sendiri, baik dalam masalah aqidah, sejarah maupun dalam masalah keyakinan atau doktrin “keterpilihan”. Faktor ini sering juga dinamakan  dengan faktor ideologis. Adapun faktor yang timbul dari luar dapat diklasifikasikan ke  dalam dua hal, yaitu faktor sosio-politis, faktor ilmiah dan faktor teknologi.[6]
Dalam konteks ideologi ini, umat manusia terbagi menjadi dua bagian, yang pertama mereka beriman teguh terhadap wahyu langit atau samawi, sedangkan kelompok yang kedua mereka yang tidak beriman kecuali hanya kepada kemampuan akal saja (rasionalis). Perbedaan cara pandang dalam beriman dan beragama secara otomatis akan mengantarkan kepada perbedaan dan pertentangan di setiap masalah dalam menentukan kebenaran yang mutlak. Sebab, keimanan adalah pokok seluruh permasalahan.[7] Mereka yang beriman kepada wahyu samawi adalah mereka yang beriman kepada esensi wujud yang gaib, metafisik atau kekuatan yang paling tinggi di atas segalanya atau kekuatan transendental yang ada di balik kekuatan alam. Adapun kelompok yang kedua dari manusia adalah mereka yang sama sekali tidak mengimani itu semua.[8] Kelompok pertama, terjebak dalam perbedaan pendapat yang tak mungkin dikompromikan sama sekali dalam menetukan siapa/apa esensi Zat yang ghaib itu, baik dalam aspek bilangan, substansi maupun eksistensinya. Dan akibat perbedaan ini, mereka berbeda pendapat dalam segala hal yang berhubungan, dekat atau jauh, dengan akidah dan keyakinan ini. Oleh karenanya, kajian kita dalam hal ini, bisa disederhanakan dalam suatu permasalahan yaitu faktor teologis.
Kontradiksi seputar masalah teologis
Dalam perspektif agama, teologi merupakan unsur yang tidak dapat ditinggalakan, yang dalam perumpamaannya bisa diibaratkan seperti kepala bagi badan manusia. Tidak ada agama tanpa teologi. Dalam teologi ketuhanan tak ada satu pun agama yang tidak membawa keyakinan ini dan mengajak para pengikutnya untuk pertama-tama meyakininya baru kemudian disusul dengan keyakinan-keyakinan yang lain. Oleh karenanya, dalam konteks ini akan dibahas secara mendalam masalah-masalah yang sangat relevan dan penting, yaitu teologi ketuhanan danteologi keterpilihan (the divine chosennes).
1)      Aqidah Ketuhanan
Aqidah ketuhanan dalam wacana pemikiran manusia telah mengundang kontroversi pemahaman yang sangat beragam dan banyak, sepadan dengan ragam dan jumlah agama yang ada di dunia. Dalam hal ini, kontroversi tersebut didasarkan pada tiga permasalahan.
Pertama, perbedaan mereka dalam memahami Zat yang ghaib atau kekuatan transendental yang bersifat metafisikal yang sering dikenal dengan nama “Tuhan”.[9] Para pengikut theistic religions[10]mengatakan itulah eksistensi Tuhan, sedangkan pengikut non-theistic religions[11] terbagi menjadi dua golongan, yang satu mengatakan Tuhan itu murni tidak ada, mereka itu adalah komunis, ateis dan kebanyakan pengikut aliran-aliran dan ideologi-ideologi modern. Sementara golongan yang lain tidak mengatakan tuhan itu ada atau tidak, tetapi cukup diam saja atau berada pada kebimbangan dan keragu-raguan, seperti pengikut-pengikut agama Budha kelompok Theravada, agnostik dan skeptik. Pada prinsipnya, jika dicermati secara mendalam kedua komunitas pemeluk yang terakhir ini sesungguhnya tidak mengingkari tuhan sama sekali, khususnya dalam konteks bahwa esensi Tuhan secara mutlak adalah sesembahan yang patut untuk disembah. Sejatinya mereka hanya mengingkari secara lahir saja.[12]Betapa pun adanya, manusia pada hakikatnya tidak mungkin bisa hidup, tanpa seperangkat aturan dan sistem aqidah keimanan.
Kedua, terdapat perbedaan pendapat di antara para pengikut agama yang mengakui adanya Tuhan(theistic religions) mengenai esensi dan bilanganTuhan itu sendiri. “Siapakah Tuhan itu, dan apakah Dia itu banyak atau hanya satu?” Perbedaan esensi dan bilangan Tuhan ini pada dasarnya timbul dari keyakinan mereka masing-masing bahwa itulah yang diwahyukan dari langit dan tertulis di dalam kitab-kitab suci mereka. Dalam konteks masalah ini, manusia secara umum bisadiklasifikasikan ke dalam dua golongan utama, (i) mereka yang beriman kepada tauhid atau beriman kepada satu Tuhan yaitu para pengikut agama yang sering dikenal dengan nama “agama tauhid” (agama monoteis) yang umumnya terdiri dari pengikut agama-agama yang disebut “agama samawi” seperti Kristen, Yudaisme dan Islam. [13] Walaupun kenyataannnya terdapat perbedaan fundamental di antara satu sama lain dalam mendefinisikan esensi atau hakikat Tuhan yang satu ini. Sekte Mahayana dalam agama Budha merupakan salah satu bagian dari golongan pertama ini juga.[14] (ii) mayoritas pemeluk agama-agama non-Semitik seperti Hindhu, Majusi, Taoisme dan lainnya. Mereka beriman kepada banyak Tuhan atau golongan yang sering dikenal dengan “politeistik”, yaitu golongan yang meyakini banyak Tuhan yang biasanya termanifestasikan dalam kekuatan-kekuatan fenomena alam: langit (heavenly), kayangan (celestial), dan bumi(terrestial). Masing-masing mensakralkan Tuhan Langit, Bumi, Angin, Matahari, dan lain-lain, dengan sebutan atau nama yang berbeda-beda sesuai dengan bahasa mereka. Namun letak geografis dua agama yang saling berdekatan biasanya berpengaruh cukup besar dalam kemiripan nama-nama Tuhan tertentu. Sebagai contoh Tuhan Matahari dalam agama Hindhu adalah Mitra,  sedangkan dalam agama Majusi disebutMithra. Begitu juga Tuhan Kematian dalam agama Hindhu disebut Yama, sedangkan dalam agama Majusi disebut Yima.[15]
Ketiga, perbedaan pendapat diantara pengikut agama yang mengakui adanya Tuhan (theistic religions), yaitu tentang apakah Tuhan itu berinkarnasi (menjelma) atau tidak. Dalam hal ini, mereka terbagi menjadi dua kelompok, agama Islam menyatakan bahwa Tuhan sama sekali tidak menjelma di dalam diri manusia atau apa pun (kecuali sebagian kaum sufi yangsyadz seperti Ibnu ‘Arabi dan Abu Mansur al-Hallaj). Sementara golongan selain Islam menyatakan bahwa Tuhan itu menitis dan menjelma di dalam tubuh manusia, namun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka dalam masalah penjelmaan tuhan (inkarnasi tuhan).[16] Agama Hindhu, Budha (golongan mahayana) dan jainisme meyakini inkarnasi tuhan yang berulang-ulang di dalam person yang berbeda-beda. Sedangkan agama Kristen tidak meyakini pengulangan inkarnasi tersebut, akan tetapi hanya meyakini inkarnasi tuhan yang hanya sekali saja, yakni dalam ‘Isa al-Masih.[17]
2)      Akidah “Keterpilihan”
Keyakinan sebagai bangsa terpilih oleh Tuhan merupakan suatu aqidah yang hampir didapati dalam semua agama. Pada prinsipnya aqidah ini lebih dikenal di kalangan agama-agama samawi dibanding agama-agama lain. Dalam agama Yudaisme misalnya, kitab-kitab sucinya jelas-jelas menjelaskan pemilihan tuhan kepada mereka. Kitab Keluaran (Exodos), misalnya, menyebutkan: “Dan Musa mendaki gunung itu untuk bertemu dengan Allah, Tuhan berbicara kepada Musa dari gunung itu dan menyuruh dia mengumumkan kepada orang Israel, keturunan Yakub,  sekarang kalau kamu taat kepada-Ku dan setia kepada-Ku sendiri. Seluruh bumi adalah milikku, tetapi kamu akan menjadi milik kesayanganku, khusus untuk diriku sendiri, dan kamu akan melayani aku sebagai imam-imam.”
Bahkan Al-Qur’an juga telah menguatkan hal ini  dengan firman Allah, “Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Ku-anugrahkan kepadamu dan Aku telah melebihkan kamu atas segala umat.”[18] Disebutkan pula, “dan sesungguhnya telah Kami pilih mereka dengan pengetahuan (Kami) atas bangsa-bangsa (yang ada pada masa mereka itu)”.[19]
Sementara itu, berbeda dengan ayat di atas, di dalam Kristen sebetulnya tidak terdapat teks-teksPerjanjian Baru yang secara kategoris menyatakan “keterpilihan” umat Kristen oleh tuhan. Akan tetapi sejauh yang menyangkut masalah keyakinan “keterpilihan” ini dalam kitab-kitab perjanjian baru hanyalah terbatas pada Nabi Isa al-Masih saja, atau tokoh-tokoh tertentu saja. Oleh karena itu, aqidah “keterpilihan” umat Kristen lebih didasarkan pada ajaran gereja yang menegaskan bahwa Tuhan telah memilih Isa al-Masih untuk menjadi tempat inkarnasi,[20]  untuk kemudian disalib sebagai tebusan dosa warisan anak cucu Adam. Dan pemilihan terhadap Isa al-Masih adalah pemilihan terhadap umatnya.
Sedangkan dalam Islam, keyakinan “keterpilihan” umat Islam oleh Allah ini jelas-jelas di nash dalam Al-Qur’an, surah Al-Imron: 110,
 “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah pada yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”[21]
Aqidah ini disebut juga disebut juga dalam dalam surah Al-Baqarah, yang artinya :
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…”[22]
Dan masih banyak lagi ayat-ayat dan hadits-hadits yang secara eksplisit maupun implisit menegaskan eksistensi umat Islam sebagai umat yang terpilih. Namun perlu disadari bahwa keutamaan atau keterpilihan umat Islam tidaklah mutlak tanpa syarat, karena hal itu akan bertentangan dengan keadilan Tuhan. Akan tetapi terikat dengan apa yang termaktub di dalam ayat-ayat al-Qur’an, yakni mereka senantiasa tergolong sebagai umat yang terpilih selama mereka tetap menegakkan prinsip amar ma’ruf nahii munkar,[23] dan tetap beriman kepada Allah.
Faktor eksternal mempunyai peran yang cukup besar bagi berkembangnya teori pluralisme agama. Faktor eksternal meliputi faktor sosio-politis dan faktor ilmiah, dan faktor teknologi.
a.      Faktor Sosio-Politis
Diantara faktor yang mendorong munculnya teori pluralisme agama adalah berkembangnya wacana-wacana sosio-politis, demokrasi, dan nasionalisme yang telah melahirkan sistem negara-bangsa, dan kemudian mengarah pada apa yang dikenal dengan “globalisasi”.Proses ini bermula semenjak pemikiran manusia mengenal “liberalisme” yang menerompetkan irama-irama kebebasan, toleransi, kesamaan dan pluralisme, kemudian liberalisme menjadi ikon dan simbol setiap pergerakan sosio-politis dalam menentang segala bentuk kedzaliman, hingga muncul dalam kasus sosial politik suatu istilah yang disebut “demokrasi”. Begitu juga meski dasar-dasar liberalisme semula tumbuh dan berkembang sebagai proses sosio-politis dan sekular, tapi kemudian paham ini tidak lagi berbatas pada masalah-masalah politis belaka. Watak universal dan komprehensif,[24] yang diklaimnya yang meliputi HAM,[25]  telah juga menyeretnya untuk mempolitisasi masalah-masalah agama dan mengintervensinya secara sistematis.
b.      Faktor Keilmuan: Gerakan Kajian-Kajian “Ilmiah” Modern terhadap Agama-Agama                                                                                                                       
Pada hakikatnya, terdapat banyak faktor keilmuan yang berkaitan dengan pembahasan ini. Namun yang memiliki kaitan langsung dan erat dengan timbulnya teori-teori pluralisme agama adalah maraknya studi-studi “ilmiah” modern terhadap agama-agama dunia, atau yang sering dikenal dengan studi Perbandingan Agama. Kajian-kajian ini telah berkembang begitu pesat dan cepat, baik dalam metodologi maupun materinya, sehingga memungkinkannya untuk membuat penemuan-penemuan, tesis-tesis, teori-teori, kesimpulan-kesimpulan dan pengayaan-pengayaan ilmiah yang baru, dan pada gilirannya menjadikannya memiliki bobot yang sangat diperhitungkan dalam diskursus[26]pemikiran dan akademik modern. Lebih dari itu, kajian-kajian telah berhasil membekali perpustakaan-perpustakaan dengan banyak literatur yang berkenaan dengan agama-agama dunia yang sangat bermanfaat bagi kajian-kajian berikutnya.
c.       Teknologi
Teknologi modern tak hanya merubah wajah kehidupan fisik-material, tapi juga merubah pola kehidupan manusia, baik secara pribadi maupun sosial. Untuk memenuhi kebutuhan psikis material dapat diperoleh dengan cara membeli atau mentransfer teknologi. Namun tak demikian untuk memenuhi kebutuhan mental-spiritual manusia. Transisi dari pola pikir lama ke pola pikir baru, baik secara fisik-material maupun mental-spiritual tak mudah. Kasus bekas negara-negara Eropa Timur, Uni Soviet dan Yugoslavia menjelaskan betapa proses transisi itu tidak mudah. Hukum perubahan tak mengenal apakah suatu bahasa sudah memasuki era high technology atau belum.
Dalam era globlisasi budaya, agama dapat tekanan berat. Sebab agama punya asumsi dasar: manusia perlu pegangan hidup tetap (stable, certainty, unfalsifiable)sedang kehidupan sendiri penuh perubahan (instability, uncurtainty dan falsifible). Dalam keadaan pelik ini, orang dituntut beradaptasi dengan lingkungan baru secara terus menerus, sementara nilai-nilai lama yang diidealkan tetap jadi panutan. Era keterbukaan kultural dan kognitif[27] secara bersama-sama berpengaruh pada perubahan cara seseorang dan kelompok memandang “objek” di luar dirinya. Dalam situasi demikian, peran agama yang konstruktif[28] untuk membimbing manusia yang terhimpit kedua sisi tuntutan berlawanan itu sangat dinantikan.[29]
Hampir seluruh  wilayah di Indonesia, pluralitas masyarakatnya semakin nyata dan berhimpit erat dengan realitas kehidupan sehari-hari, antara lain dengan kehidupan agama-agama atau kehidupan beragama dan bermasyarakat. Timbulnya pluralisme, terutama pluralisme agama Islam di Indonesia, di antaranya disebabkan karena lahirnya organisasi-organisasi Islam, munculnya paham-paham baru, aliran-aliran baru, ataupun ajaran-ajaran baru yang masing-masing dari mereka mempunyai latar belakang dan tujuan. Di antara perkumpulan dan organisasi islam tersebut ialah:
Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal  8 Dzulhijjah 1330 H oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan. Perkumpulan Muhammadiyah berusaha mengembalikan ajaran Islam kepada sumber aslinya yaitu Alquran dan Assunah. Itulah sebabnya tujuan perkumpulan ini adalah untuk meluaskan dan mempertinggi pendidikan agama islam, serta memperteguh keyakinan tentang agama islam, sehingga terwujudlah masyarakat islam yang sebenar-benarnya.[30]
Nahdatul Ulama pada waktu berdirinya ditulis dengan ejaan lama “Nahdlatoel Oelama (NO)” didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 M, bertepatan dengan tanggal 16 Rajab 1444 H oleh kalangan ulama penganut mazhab yang seringkali menyebut dirinya sebagai golongan Ahlussunnah Waljama’ah yang dipelopori oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Berdirinya gerakan NU tersebut adalah sebagai reaksi terhadap gerakan reformasi dalam kalangan umat Islam Indonesia, dan berusaha mempertahankan salah satu dari empat mazhab dalam masalah yang berhubungan dengan fikih, Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, dan Mazhab Hanbali.[31] Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa motif utama yang mendasari gerakan para ulama membentuk NU ialah motif keagamaan sebagaijihad fi sabilillah.[32]  Aspek kedua yang mendorong mereka ialah tanggung jawab pengembangan pemikiran keagamaan yang ditandai  upaya pelestarian ajaran mazhab ahlusunnah waljamaah. Ini tidak berarti statis, tidak berkembang, sebab pengembangan yang dilakukan justru bertumpu pada akar kesejarahan sehingga pemikiran yang dikembangkan itu memiliki konteks historis. Aspek ketiga ialah dorongan untuk mengembangkan mayarakat melalui kegiatan pendidikan, social dan ekonomi. Ini ditandai dengan pembentukan Nahdatul Watan, Taswi-rul Afkar, Nahdatul Tujjar, dan Ta’mirul Masajid. Aspek keempat ialah motif politik yang ditandai semangat nasionalisme ketika pendiri NU itu mendirikan cabang SI di Mekkah serta obsesi mengenai hari depan negeri merdeka bagi umat Islam. [33]
Persis didirikan di Bandung tanggal 17 September 1923 oleh K.H. Zamzam.  Gagasan pendirian organisasi ini berasal dari pertemuan yang bersifat kenduri yang diadakan secara berkala di rumah salah satu anggota kelompok yang berasal dari Sumatra tetapi telah lama tinggal di Bandung. Setelah selesai berkenduri biasanya dilanjutkan dengan berbincang-bincang tentang persoalan-persoalan agama dan gerakan-gerakan keagamaan baik yang terjadi di Indonesia maupun di negara-negara lain.[34] Nama persis ini diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam. Falsafah ini didasarkan kepada firman Allah SWT dalam Al Quran: “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang/aturan) Allah seluruhnya dan janganlah kamu bercerai berai”.[35]
Serta sebuah hadits Nabi SAW, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, “Kekuatan Allah itu bersama al-jama’ah”.[36]
Faham yang dianut oleh LDII tidak berbeda dengan aliran Islam Jama’ah/Darul Hadits yang telah dilarang oleh Jaksa Agung Republik Indonesia pada tahun 1971. Keberadaan LDII mempunyai akar kesejarahan dengan Darul Hadits/Islam Jama’ah.[37], kemudian berganti nama dengan Lembaga Karyawan Islam (LEMKARI) pada tahun 1972 (tanggal 13 Januari 1972).Kemudian
LEMKARI sebagai singkatan Lembaga Karyawan Islam ganti nama dengan Lembaga Karyawan Dakwah Islam yang disingkat juga LEMKARI (1981).
Karena Islam Jama’ah sudah terlarang di seluruh Indonesia, maka Nur Hasan Ubaidah Lubis mencari taktik baru, yaitu dengan mendekati Letjen Ali Murtopo (Wakil Kepala Bakin dan staf Opsus (Operasi Khusus Presiden Suharto)) waktu itu. Sedangkan Ali Murtopo adalah seorang yang dikenal sangat anti terhadap Islam. Dengan perlindungan Ali Murtopo maka pada tanggal 1 Januari 1972 M, Islam Jama’ah berganti nama menjadi ‘Lemkari’ (Lembaga Karyawan Islam atau Lembaga Karyawan Dakwah Islam) dibawah Golkar. Dikarenakan masih tetap menyimpang dan menyusahkan masyarakat, kemudian pada bulan November 1990 M mereka mengadakan Musyawarah Besar Lemkari di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, dan berganti nama menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) atas anjuran Menteri Dalam Negeri, Rudini.[38]
Kota atau daerah asal mula munculnya disebut LDII adalah:
a.       Desa Burengan Banjaran, di tengah-tengah kota Kediri, Jawa Timur.
b.      Desa Gadingmangu, Kec. Perak, Kab. Jombang, Jawa Timur.
c.       Desa Pelem di tengah-tengah kota Kertosono, Kab. Nganjuk, Jawa Timur.[39]    
Jemaat Ahmadiyah adalah suatu gerakan dalam Islam yang didirikan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1889. Ahmadiyah bukanlah suatu agama. Agamanya adalah ISLAM. Jemaat Ahmadiyah menjunjung tinggi Kalimah Syahadat "Laa ilaha Illallah, Muhammadur-rasulullah".[40] Nama Ahmadiyahberasal dari nama sifat Rasulullah SAW, Ahmad (yang terpuji). Tujuan Jemaat Ahmadiyah adalah Yuhyiddiyna wayuqiymus-syariah (Menghidupkan kembali agama Islam, dan menegakkan kembali Syariat Qur'aniah).[41]
Faktor Perbedaan Kebudayaan
Keberagamaan  dalam agama Islam di Indonesia, tidak terlepas dari kebudayaan yang beranekaragam. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi akan keberagamaan kebudayaan, hal tersebut dikarenakan oleh:
a.       Faktor Adat Istiadat
Faktor adat istiadat adalah nilai tidak bersifat universal artinya tidak untuk setiap masyarakat/kelompok menerima nilai tersebut, sehingga nilai antara suatu daerah dengan daerah lainnya berbeda-beda.
Contoh: adat istiadat masyarakat Sunda dengan mayarakat Jawa Tengah berbeda.
b.      Faktor Agama
Faktor agama adalah faktor yang paling mempengaruhi norma dan nilai, karena di setiap agama berbeda pantangan dan ibadahnya.
Contoh: dalam Islam alkohol dan daging babi itu haram, sedangkan dalam  agama lain tidak diharamkan.
c.       Faktor Lingkungan (tempat tinggal)
Faktor lingkungan berperan dalam pembedaan nilai dan norma setiap daerah/tempat masing-masing.
Contoh: lingkungan di pasar sangat berbeda dengan lingkungan di perumahan, jika di pasar ada preman yang tetapi di daerah komplek tidak ada preman (yang memegang/menarik bayaran).
d.      Faktor Kebiasaan
Faktor kebiasaan adalah faktor yang dipengaruhi oleh sering tidaknya orang itu melaksanakan suatu pekerjaan.[42]
Contoh: orang yang berada di pesantren sudah terbiasa membaca Al-Qur’an, tetapi orang yang berada di luar, belum tentu terbiasa membaca Al-Qur’an.
e.       Faktor Suku
Suku-suku di Indonesia bermacam-macam ada Sunda, Jawa, Minang, dan lain-lain. Setiap suku memiliki suatu nilai dan norma yang berbeda-beda contohnya jika di Jawa Barat suatu pernikahan itu yang melamar laki-laki, tetapi di Sumatera Barat yang melamar itu perempuan.[43]
            Ada banyak problem teologis dalam mendefinisikan identitas suatu agama ditengah lingkungan yang plural-religius. Sadar atau tidak banyak orang melihat dan mendefnisikan agama dengan cara pandang keagamaan standar ganda, yaitu “menerapkan serangkaian standar atau kriteria untuk keyakinannya sendiri  dan serangkaian standar yang sama sekali berbeda untuk kepercayaan orang lain”. Cara pandang seperti ini banyak digunakan oleh setiap komunitas agama tidak hanya dalam wacana, tetapi juga dalam praktek agama. Para teolog atau agamawan selalu menegaskan bahwa kepercayaannya sendiri yang berasal dari Tuhan, sedang kepercayaan orang lain hanyalah konsepsi manusia. Banyak orang beragama memandang identitas agamanya sendiri dengan menggunakan standar idealitas normatif teks keagamaan (kitab suci) untuk agama sendiri, tetapi pada saat yang sama mereka menilai agama lain berdasarkan realitas historis-empiris.
Dalam Islam ada dua kemungkinan yang menjadi sebadb munculnya inklusifisme dan ekslusifisme[44].
Pertama, cara menafsirkan teks kitab sucinya, dikarenakan (1) Adanya ayat-ayat dalam Al-qur’an yang seolah-olah mengandung makna atau penafsiran mendua tentang hubungan dengan orang non-islam, antara rukun dan memerangi, (2) adanya stigma[45] sejarah akibat konflik religio-idiologis antar umat beragama di masa lalu. (3) Adanya pilihan metodelogis dalam menafsirkan teks kitab suci itu sendiri.
 Kedua, adanya perbedaan dalam menerapkan tafsir otentik teks kitab sucinya, artinya, bisa jadi penfsirannya sama, tetapi penerangannya bias berbeda. Kepentingan politik, ekonomi, kelompok golongan atau organisasi sering berpengaruh pada perbaedaan sikap terhadap agama orang lain.[46]
Bagaimanapun, konteks kesejarahan dan sosial pada teks Al-qur’an turun, sangat penting dipertimbangkan, baik dalam konteks mikro sebab turunnya, maupun konteks makronya secara umum kesejarahan sosial dan budaya secara luas saat itu. Pertimbangan ini sangat penting agar penafsiran teks-teks yang dianggap bertentangan tersebut dapat dilakukan secara arif dan integrative,[47] tidak cenderung dipaksakan atau dibuat-buat. Harus diingat bahwa Al-qur’an merupakan respon komentar dan solusi terhadap problem realitas sosial Arab khususnya, dan umat manusia di dunia pada umumnya.
Menjadi bahan renungan bagi setiap umat Islam ketika akan menerapkan absolutism,[48] dalam melihat sesama Muslim lainnya, karena berdasarkan ayat tersebut, bisa jadi mereka lebih baik. Apalagi, Allah dengan jelas tidak menghendaki terjadinya unsur monolitik dalam kehidupan masyarakat, sebagai dasar untuk saling kompetisi demi kebaikan bersama.

Para cendikiawan muslim Indonesia telah terlibat dalam sejumlah diskursus tentang Islam dan pluralisme. Bertolak dari pandangan bahwa Islam merupakan agama kemanusiaan (fitrah), yang berarti cita-citanya sejajar dengan cita-cita kemanusian universal, Nurcholis Madjid berpendapat bahwa cita-cita keislaman sejalan dengan cita-cita manusia Indonesia pada umumnya. Ini adalah salah satu pokok ajaran Islam. Oleh karena itu sistem politik yang sebaiknya diterapkan di Indonesia adalah sistem yang tidak hanya baik untuk umat Islam, tetapi juga membawa kebaikan untuk semua anggota masyarakat. Dengan kata lain diperlukan sistem yang menguntungkan semua pihak, termasuk mereka yang non-muslim. Hal ini, papar Nurcholis, sejalan dengan watak inklusif Islam. Indonesia. Menurutnya, pandangan ini telah memperolah dukungan dalam sejarah awal Islam. Nurcholis menyadari bahwa masarakat Indonesia sangat pluralistik dari segi etnis, adat-istiadat, dan agama. Dari segi agama, selain Islam, realitas menunjukan bahwa hampir semua agama, khususnya agama-agama besar dapat berkembanag subur dan terwakili aspirasinya di Indonesia. Oleh sebab itu masalah toleransi atau hubungan antar agama menjadi sangat penting. Nurcholis optimis bahwa dalam soal toleransi dan pluralisme ini, Islam telah membuktikan kemampuannya secara menyakinkan. Fakta bahwa Islam memperkuat toleransi dan memberikan aspirasi terhadap pluralisme, sangat kohesif dengan nilai-nilai pancasila yang sejak semula mencerminkan tekad dari berbagai golongan dan agama untuk bertemu dalam titik kesamaan (comon platform) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia memiliki pengalaman sejarah yang panjang dalam pergumulan tentang keragamaan, aliran politik dan keagaman, sejak zaman pra kemerdekaan sampai sesudahnya.[49]
Nurcholis melihat ideologi negara Pancasilalah yang telah memberi kerangka dasar bagi masyarakat Indonesia dalam masalah pluralisme keagamaan.
Sementara itu, Abdurrahman Wahid juga melihat hubungan antara Islam dengan pluralisme dalam konteks manifestasi universalisme dalam kosmopolitanisme[50] ajaran Islam. Menurutnya, Islam ajaran yang dengan sempurna menampilkan universalisme. Adalah lima jaminan dasar yang diberikan Islam kepada warga masyarakat, baik secara perorangan maupun kelompok. Kelima jaminan dasar tersebut adalah :
(1) Keselamatan fisik warganegara,
(2) Keselamatan keyakinan agama masing-masing,
(3) Keselamatan keluarga dan keturunan,
(4) Keselamatan harta benda dan milik pribadi, dan
(5) Keselamatan profesi.[51]
Dalam konteks masayarakat Indonesia yang pluralistik ini, Abdurrahman mengharapkan agar cita-cita untuk menjadikan Islam dan umat Islam sebagai “pemberi warna tunggal” bagi kehidupan masyarakat disamping. Ia juga menolak jika Islam djadikan “alternatif” terhadap kesadaran berbangsa yang telah begitu kuat tertanam dalam kehidupan masyarakat Islam sebaiknya menempatkan ciri sebagai faktor komplementer,[52] dan bukan mendominasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian format perjuangan Islam pada akhirnya partisipasi penuh dalam upaya membentuk Indonesia yang kuat, demokratis, dan penuh keadilan. Tujuan akhinya adalah memfungsikan Islam sebagai kekuatan integrative dalam kehidupan berbangsa.
Elit fundamentalis Islam memiliki sikap mengambil jarak dan tetap berhati-hati untuk menjaga iman mereka dari penetrasi agama lain. Oleh sebab itu orang Islam tidak boleh terlalu cinta terhadap mereka (orang-orang non-muslim) supaya tidak tergoda imannya. Dan hendaknya umat Islam tidak toleran di bidang yang menyangkut akidah dan syariah. Selain itu, di bidang kesenian dan budaya pun harus tetap hati-hati, jangan ada pembauran atau pencampuradukkan, karena yang demikian itu akan menimbulkan perpecahan. [53]
Berbeda dengan elit fundamentalis Islam, Kuntowijoyo berpendapat bahwa peradaban Islam merupakan sistem yang terbuka. Artinya peradaban Islam menjadi subur di tengah pluralis budaya dan peradaban dunia. Meskipun demikian peradaban dan kebudayaan Islam juga bersifat orisinil dan autentik,[54] yang mempunyai ciri dan kepribadian tersendiri. Kunto berpendapat bahwa umat Islam dapat menerima aspek- aspek positif dari ideologi atau paham apapun, tetapi pada saat yang sama, perlu didasari bahwa Islam itu autentik, memiliki kepribadian yang utuh dan sistem tersendiri. Dalam konsteks Indonesia, Kunto berpendapat bahwa umat Islam, terutama cendikiawannya, harus dapat memadukan kepentingan nasional dan kepentingan Islam.

Hakikatnya, perbedaan merupakan anugerah Allah ‘Azza wa Jalla yang diberikan kepada manusia. Dialah yang mengetahui rahasia di balik perbedaan yang dikehendaki-Nya. Tak terkecuali ‘perbedaan pendapat’ yang menjadi pembahasan bab ini.[55]
Dalam Al-Quran, Allah SWT befirman:
“Dan sekiranya Rabbmu menghendaki, niscaya Dia menjadikan manusia ummat yang satu, namun mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Dan kalimat (keputusan) Rabbmu telah ditetapkan: Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.”[56]
Demikian pula rasulullah SAW, pernah memaparkan kepada para sahabatnya, dimana beliau mengisyaratkan akan banyaknya terjadi perbedaan pendapat. Beliau bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian, agar kalian bertakwa pada Allah, patuh dan taat sekalipun yang memerintah seorang budak sahaya. Sesungguhnya siapa saja yang hidup (di kala aku sudah tiada), maka kalian akan menyaksikan perbedaan pendapat yang sangat banyak….”[57] (al Imam an-Nawawi, Syarhul Arba’în an Nawâwiyyah).
Maka sangatlah wajar, apabila para ulama menyebutkan perbedaan pendapat itu merupakan sunnatullâhatau sunnah rabbâniyyah, dimana kaum muslimin tidak perlu menghindarinya. Bahkan sebaliknya dituntut untuk lebih mengetahui akar persoalannya, terlebih-lebih dalam memahami permasalahan agamanya.[58]



Pluralisme berasal dari dua kata yakni plural dan isme, plural yang berarti beragam, jamak, atau majemuk. Sedangkan isme yang berarti suatu paham atau pandangan. Jadi pluralisme agama adalah pandangan atau paham yang memiliki prinsip bahwa keanekaragaman itu jangan menghalangi untuk bisa hidup berdampingan secara damai dalam satu masyarakat yang sama.
Munculnya pluralisme agama tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa factor, yaitu faktor  internal dan faktor eksternal. Di  dalam faktor internal tersebut umat manusia terbagi menjadi umat manusia yang beriman terhadap wahyu langit/ samawi dan umat manusia yang tidak beriman kecuali pada akal atau rasionalis. Sedangkan di dalam faktor eksternal tersebut terbagi menjadi faktor  sosio-politis dan faktor keilmuan.
Faktor internal tersebut merupakan faktor yang timbul akibat tuntutan akan kebenaran yang mutlak dari agama-agama itu sendri, seperti akidah, sejarah, keyakinan. Faktor eksternal mempunyai peran kunci dalam menciptakan iklim kondusif  dan lahan yang subur bagi tumbuh berkembangnya teori pluralisme agama.
Di Indonesia, dapat kita simpulkan bahwa agama bersifat plural, secara keseluruhan yakni terdapat agama Islam,  Kristen, Katolik, Hindhu, Budha. Khusunya di agama Islam itu juga terdapat keanekaragaman, misalnya NU, Muhammadiyah, Persis, LDII, Ahmadayiyah.
Dengan adanya keberagaman tesebut, tidak menutup kemungkinan untuk hidup secara damai.
Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berlain pula.
Al-Qur’an dalam memberikan pendidikan kesadaran terhadap pluralisme agama
terhadap umat manusia diantaranya tampak dari sikap-sikapnya sebagai berikut:
1.      Mengakui eksistensi agama lain.
2.      Memberi hak untuk hidup berdampingan saling menghormati pemeluk agama lain.
3.      Menghindari kekerasan dan memelihara tempat-tempat beribadah umat beragama lain.
4.      Tidak memaksakan kehendak kepada penganut agama lain.
5.      Mengakui tentang banyaknya jalan yang dapat ditempuh manusia dan pemerintah berlomba-lomba dalam kebajikan.











Abdullah, Amin. 1996. Study Agama Normativ atau Historis?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bayu. 2011. Penyebab Perbedaan Kebudayaan.http://bayusirmawan.blogspot.com/2011/04/penyebab-perbedaan-kebudayaan.html (diakses tanggal 3 Maret 2013).
Cepot, Kopral. 2009. Sejarah Persatuan Islam.
Febrian. Latar Belakang Lahirnya Aliran Sesat Ahmadiyah/Ahmadiah.
Haidar, M. Ali. 1998. Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hasbullah. 1994. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Banjarmasin: Lembaga-Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan.
H. M. Zainuddin . 2010. Pluralisme Agama Pergaulatan Dialogis Islam-Kristen di Indonesia (Malang: UIN Malang Press).
Ilyas, Muh Akbar. 2012. Gerakan LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia),(http://blog.umy.ac.id/muhakbargowa/2012/09/21/gerakan-ldii-lembaga-dakwah-islam-indonesia/ (diakses  tanggal 10 Maret 2013).
Khadziq. 2009. Islam Budaya Lokal Memahami Realitas Agama dalam Masyarakat. Yogyakarta: TERAS.
Legenhausen, M. 2010. Pluralitas dan Pluralisme Agama. (Jakarta: Shadra Press).
Romliy, Moh. 2011. Makalah LDIIhttp://romliy-punya.blogspot.com/2011/03/makalah-ldii.html (diakses tanggal 10 Maret 2013).
Sumarito. 2011. Sebab-Sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat, (online).
Thoha, Anis Malik. 2005. Tren Pluralisme Agama. Jakarta: Perspektif Kelompok GEMA INSANI.
Yusuf, Mundzirin. 2005. Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.





















[1] Mundzirin Yusuf, Islam dan Budaya Lokal (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga) hlm.30.
[2] Khadziq, Islam Budaya Lokal Memahami Realitas Agama dalam Masyarakat (Yogyakarta: TERAS, 2009) hlm. 223.
[3] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama (Jakarta: Perspektif Kelompok GEMA INSANI, 2005)     hlm. 14.
[4] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama (Jakarta: Perspektif, 2005) hlm. 16.
[5] Pluralitas dan Pluralisme Agama, hlm. 153.
[6] ibid, hlm.24.
[7] Ibid, hlm.25.
[8] Ibid, hlm.25.
[9] Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama (Jakarta: Perspektiif Kelompok GEMA INSANI, 2006), hlm.26
[10] Diartikan sebagai ajaran agama yang mengakui adanya Tuhan.
[11] Diartikan sebagai ajaran agama yang tidak mengakui adanya Tuhan.
[12] Mereka mengingkari secara lahir karena Tuhan mereka yang sebenarnya adalah akal dan logika, atau apa yang Alquran sebut dengan hawa.
[13] Yudaisme atau disebut juga agama Yahudi adalah kepercayaan yang unik untuk bnagsa Yahudi (penduduk negara Israel ataupun orang Israel yang bermukim di luar negeri). Inti kepercayaan penganut agama Yahudi adalah wujudnya Tuhan Yang Maha Esa, pencipta dunia yang menyelamatkan bnagsa Israel dari penindasan di Mesir, menurunkan Undang-Undang Tuhan kepada mereka dan memilih mereka sebagai cahaya kepada manusia sedunia.
[14] Thoha,  Anis Malik, Tren Pluralisme Agama (Jakarta: Perspektiif Kelompok GEMA INSANI, 2006), hlm.24.
[15] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta: Perspektiif Kelompok GEMA INSANI, 2005), hlm.29.
[16] Ibid, hlm.40.
[17] Ibid, hlm.30.
[18] Q.S Al-Baqarah : 122.
[19] Q.S Ad-Dukhan : 32.
[20] Inkarnasi berasal dari bahasa Latin “incanatio”. “in” yang berarti masuk ke dalam, dan “caro/carnis” yang berarti daging. Inkarnasi dipahami sebagai masuknya Allah ke dalam manusia atau masuknya Kristus ke dalam manusia. Misteri ini tidak dapat dicerna oleh akal manusia. Secara sederhananya, inkarnasi berarti penjelmaan.
[21] Q.S Al-Imran: 110.
[22] Q.S Al-Baqarah: 143.
[23] Adalah ajaran yang mengajurkan umat Islam untuk mengerjakan amal saleh, dan meninggalkan perbuatan yang keji.
[24] Mengandung arti luas dan menyeluruh.
[25] Termasuk di dalamnya: hak beragama dan keyakinan.
[26] Kata diskursus berasal dari bahasa Inggris yaitu discourse yang secara mudahnya berarti wacana. Namun
sebenarnya kata ini mempunyai banyak sekali makna seperti Percakapan, terutama tentang hakikat yang formal; ekspresi formal dan teratur dalam ucapan dan tulisan; ekspresi dalam bentuk khotbah, risalah, dll; suatu potongan atau unit ucapan/tulisan yang terkait. (Middle English; discours, dari bahasa Latin: tindakan pergi kemana-mana). (Longman Dictionary of English Language, 1984).
[27]Kognitif  berdasar kepada pengetahuan faktual yg empiris.
[28] Konstruktif bersifat membina, memperbaiki, membangun.
[29] Amin Abdullah, Study Agama Normativ atau Historis?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
[30] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Banjarmasin: Lembaga-Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1994) hlm. 95.
[31] Ibid, hlm. 106.
[32] M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998) hlm. 315.
[33]Ibid.
[34]Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Banjarmasin: Lembaga-Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan. 1994) hlm. 120.
[35]Q.S Ali-Imran:103.
[36]Kopral Cepot, Sejarah Persatuan Islam,http://serbasejarah.wordpress.com/2009/05/31/sejarah-persatuan-islam/, diakses pada tanggal 10 Maret 2013.
[37] Darul Hadits/Islam Jama’ah didirikan pada tahun 1951 oleh Nurhasan Al Ubaidah Lubis (Madigol). Setelah aliran tersebut dilarang tahun 1971.
[38] Moh Romliy , Makalah LDII, http://romliy-punya.blogspot.com/2011/03/makalah-ldii.html, diakses pada tanggal 10 Maret 2013.
[39] Muh Akbar Ilyas, Gerakan LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia),http://blog.umy.ac.id/muhakbargowa/2012/09/21/gerakan -ldii-lembaga-dakwah-islam-indonesia/, diakses pada tanggal 10 Maret 2013.
[40] Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah.
[41] Febrian, Latar Belakang Lahirnya Aliran Sesat Ahmadiyah/Ahmadiah,http://islam-makhedo.blogspot.com/2012/03/latar-belakang-lahirnya-aliran-sesat.html, diakses pada tanggal 10 Maret 2013.
[42] Bayu, Penyebab Perbedaan Kebudayaan,http://bayusirmawan.blogspot.com/2011/04/penyebab-perbedaan-kebudayaan.html, diakses pada taggal 3 Maret 2013.
[43] Ibid.
[44] Paham yg mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri.
[45] Stigma bisa diartiakan sebagai ciri negatif yg menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya; tanda.
[46] Khadziq, Islam Budaya Lokal Memahami Realitas Agama dalam Masyarakat (Yogyakarta: TERAS, 2009) hlm. 234—235.
[47] Integrative berarti menggabungkan dan mengkoordinasikan berbagai elemen ke dalam satu hal.

[48] Absolutism yang dimaksudkan disini adalah menghina atau menyalahkan semena-mena.
[49] Sumarito, Sebab-Sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat,  http://blog.umy.ac.id/mpuniversitasterbaik/2011/11/21/sebab-sebab-terjadinya-perbedaan-pendapat-para-ulama/, diakses pada tanggal 2 Maret 2013.
[50] paham (gerakan) yg berpandangan bahwa seseorang tidak perlu mempunyai kewarganegaraan, tetapi menjadi warga dunia; paham internasional.
[51] Sumarito, Sebab-Sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat,  http://blog.umy.ac.id/mpuniversitasterbaik/2011/11/21/sebab-sebab-terjadinya-perbedaan-pendapat-para-ulama/, diakses pada tanggal 2 Maret 2013.
[52] Bersifat saling mengisi; bersifat melengkapi.
[53] Zainuddin, Pluralisme Agama Pergaulatan Dialogis Islam-Kristen di Indonesia, (Malang: UIN Malang Press, 2010), hlm. 278-280.
[54] Autentik berarti dapat dipercaya, sah, atau asli.
[55]Sumarito, Sebab-Sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat,  http://blog.umy.ac.id/mpuniversitasterbaik/2011/11/21/sebab-sebab-terjadinya-perbedaan-pendapat-para-ulama/, diakses pada tanggal 2 Maret 2013.
[56] Q.S Hud/11: 118-119.
[57] Al Imam An Nawawi, Syahrul Arba’in an Nawawiyah, bab Wujûbu Luzûmis Sunnah,  hlm. 187.
[58] Sumarito, Sebab-Sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat,http://blog.umy.ac.id/mpuniversitasterbaik/2011/11/21/sebab-sebab-terjadinya-perbedaan-pendapat-para-ulama/, diakses pada tanggal 2 Maret 2013.


0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Sample Text

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Flickr Images