Popular Posts
-
Pemulung Dilarang Masuk! Saat berjalan, berkeliling kota misalnya, atau bahkan banyak di sekitar tempat tinggal kita, sering kita...
-
Ilmu Mantiq (Logika) A. Ilmu Mantiq / Logika Ilmu mantik merupakan suatu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah yang dapat me...
-
Pengalaman Seleksi Beasiswa Djarum Plus 2015 – Yogyakarta Assalamualaikum warohmatullohi wa barokatuh sobat mulia... Bagaim...
-
A. Tauhid Tauhid adalah ilmu ketuhanan atau keesaan Allah. Dalam al-Qur’an sendiri sangat banyak ayat yang menjelaskan mengenai Tau...
-
Jenis Puisi Menurut Aminudin (1) Puisi epik , yakni puisi yang di dalamnya mengandung cerita kepahlawanan, baik kepahlawanan y...
-
Dahulu ada seorang sufi yang melakukan sebuah pengembaraan dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mendakwahkan panji kebenaran ...
-
Belajar dari Sang “Guru Bangsa” *Diskusi singkat dengan Buya Syafii Maarif Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif Sore itu tepatnya di ha...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, persoalan pluralisme masih hangat diperbincangkan. Sebenarnya isu...
-
Assalamualaikum sobat :-) Bagaimana kabar sobat hari ini??? semoga selalu dalam limpahan kasih dan sayang Allah ta'ala..amiiiiin....
-
1. Pengertian Fiqhul Lugah - Secara Etimologis : Terdiridari dua kata yaitu الفقه dan اللغة yang bila diartikan maka memiliki pe...
Blogger templates
Blogger news
Blogroll
About
Blog Archive
About Me
- Unknown
Followers
Labels
Pages
Like us on Facebook
Selasa, 24 Maret 2015
Dewasa ini, persoalan pluralisme
masih hangat diperbincangkan. Sebenarnya isu pluralisme telah lama
hadir, bahkan bisa dikatakan setua usia manusia dan akan ada selama kehidupan
belum usai, hanya saja terus menerus akan berkembang seiring dengan
kemajuan zaman.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita
menjalani kehidupan yang majemuk secara ilmiah dan wajar apa adanya. Namun
seiring dengan kepentingan ideologis, sosial, politik, dll., realitas
pluralisme berada pada puncak kesadaran dan menjadi pusat
perhatian. Berkenaan dengan munculnya paham pluralisme terutama pluralisme
agama beberapa tahun terakhir ini, maka wacana tentang pluralisme agama menjadi
tema penting yang banyak mendapat sorotan dari sejumlah cendikiawan
muslim. Bahkan memunculkan pro dan kontra dikalangan para
pemikir, cendikiawan dan para tokoh agama.
Menarik, dalam artian memprihatinkan
karena persoalan itu terjadi di Indonesia, yang
notabene bukan negara agama, tetapi yang selalu mengatakan religius; bukan
pula negara sekuler, tetapi yang semakin terbuka kepada modernisasi; bukan juga
negara yang tidak menjunjung tinggi demokrasi, tetapi yang berdasarkan pada
Pancasila, yang menjunjung tinggi demokrasi. Negara yang lahir dan terbentuk
dari dan oleh masyarakat plural, termasuk di dalamnya adalah pluralitas agama.
Sebuah fakta dalam masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dengan Pluralisme.
Terlebih lagi ketika MUI pada bulan
Juli 2005 yang lalu mengharamkan pluralisme agama, maka persoalan ini telah
mencuat ke permukaan dan telah menghiasi halaman-halaman media masa cetak
maupun elektronik. Bila dicermati, maka perbedaan ini nampaknya berkaitan
dengan kesalahpahaman pemaknaan pluralisme agama-budaya, perbedaan
di dalam memahami isyarat-isyarat ayat Al-Qur'an tentang pluralitas
maupun tentang klaim kebenaran dalam suatu agama.
Lalu sebenarnya hal apakah yang
menjadikan pluralisme itu muncul dan meroket menjadi sesuatu yang sangat
penting?
Mengingat hal itu, maka penulis mencoba
untuk memaparkan sebab-sebab timbulnya pluralisme agama.
1. Apakah definisi pluralisme agama?
2. Mengapa terjadi pluralisme agama?
3. Mengapa ada pluralisme dalam agama islam?
4. Bagaimanakah pandangan kaum agamawan tentang pluralisme?
Secara etimologis,
asal kata pluralisme adalah pluralism (bahasa Inggris)
yang berarti plural (beragam), jamak, atau majemuk. Sedangkan secara
terminologis, pluralisme yaitu suatu pandangan atau paham yang memiliki prinsip
bahwa keanekaragaman itu jangan menghalangi untuk bisa hidup berdampingan
secara damai dalam satu masyarakat yang sama.[1]
Berangkat dari
definisi pluralisme, maka pluralisme agama adalah “sebuah pandangan yang
mendorong bahwa berbagai macam agama yang ada dalam satu masyarakat harus
saling mendukung untuk bisa hidup secara damai.[2]
Sedangkan dari
definisi yang lain, pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama
(koeksistensi) antar agama (dalam arti yang luas) yang berbeda-beda dalam satu
komunitas dengan tetap mempertahakan ciri-ciri spesifik atau ajaran
masing-masing agama.[3]
Pemikiran pluralisme
agama muncul pada masa yang disebut Pencerahan (Enlightenment) Eropa,
tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang sering disebut sebagai titik
permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan
wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada
superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan
agama.[4]
Sebab-sebab
lahirnya teori pluralisme agama banyak dan beragam, sekaligus kompleks. Alasan
keragaman itu adalah kebudayaan-kebudayaan yang berbeda menghasilkan perbedaan
tanggapan yang nyata.[5] Namun
secara umum dapat diklasifikasikan dalam dua faktor utama yaitu faktor
internal (ideologis) dan faktor eksternal, yang mana satu faktor dengan
faktor lainnya saling mempengaruhi dan berhubungan erat. Faktor internal
merupakan faktor yang timbul akibat tuntutan akan kebenaran yang
mutlak dari agama-agama itu sendiri, baik dalam masalah aqidah, sejarah
maupun dalam masalah keyakinan atau doktrin “keterpilihan”. Faktor ini sering
juga dinamakan dengan faktor ideologis. Adapun faktor yang timbul
dari luar dapat diklasifikasikan ke dalam dua hal, yaitu faktor
sosio-politis, faktor ilmiah dan faktor teknologi.[6]
Dalam konteks ideologi
ini, umat manusia terbagi menjadi dua bagian, yang pertama mereka beriman teguh
terhadap wahyu langit atau samawi, sedangkan kelompok yang kedua mereka yang
tidak beriman kecuali hanya kepada kemampuan akal saja (rasionalis).
Perbedaan cara pandang dalam beriman dan beragama secara otomatis akan
mengantarkan kepada perbedaan dan pertentangan di setiap masalah dalam
menentukan kebenaran yang mutlak. Sebab, keimanan adalah pokok seluruh
permasalahan.[7] Mereka
yang beriman kepada wahyu samawi adalah mereka yang beriman kepada
esensi wujud yang gaib, metafisik atau kekuatan yang paling tinggi di atas
segalanya atau kekuatan transendental yang ada di balik kekuatan alam.
Adapun kelompok yang kedua dari manusia adalah mereka yang sama sekali tidak
mengimani itu semua.[8] Kelompok
pertama, terjebak dalam perbedaan pendapat yang tak mungkin dikompromikan sama
sekali dalam menetukan siapa/apa esensi Zat yang ghaib itu, baik dalam aspek
bilangan, substansi maupun eksistensinya. Dan akibat perbedaan ini, mereka
berbeda pendapat dalam segala hal yang berhubungan, dekat atau jauh, dengan
akidah dan keyakinan ini. Oleh karenanya, kajian kita dalam hal ini, bisa
disederhanakan dalam suatu permasalahan yaitu faktor teologis.
Kontradiksi seputar masalah teologis
Dalam perspektif
agama, teologi merupakan unsur yang tidak dapat ditinggalakan, yang dalam
perumpamaannya bisa diibaratkan seperti kepala bagi badan manusia. Tidak ada
agama tanpa teologi. Dalam teologi ketuhanan tak ada satu pun agama yang tidak
membawa keyakinan ini dan mengajak para pengikutnya untuk pertama-tama
meyakininya baru kemudian disusul dengan keyakinan-keyakinan yang lain. Oleh
karenanya, dalam konteks ini akan dibahas secara mendalam masalah-masalah yang
sangat relevan dan penting, yaitu teologi ketuhanan danteologi
keterpilihan (the divine chosennes).
1) Aqidah Ketuhanan
Aqidah ketuhanan dalam
wacana pemikiran manusia telah mengundang kontroversi pemahaman yang sangat beragam
dan banyak, sepadan dengan ragam dan jumlah agama yang ada di dunia. Dalam hal
ini, kontroversi tersebut didasarkan pada tiga permasalahan.
Pertama, perbedaan mereka dalam
memahami Zat yang ghaib atau kekuatan transendental yang bersifat
metafisikal yang sering dikenal dengan nama “Tuhan”.[9] Para
pengikut theistic religions[10]mengatakan
itulah eksistensi Tuhan, sedangkan pengikut non-theistic religions[11] terbagi
menjadi dua golongan, yang satu mengatakan Tuhan itu murni tidak ada, mereka
itu adalah komunis, ateis dan kebanyakan pengikut aliran-aliran dan
ideologi-ideologi modern. Sementara golongan yang lain tidak mengatakan tuhan
itu ada atau tidak, tetapi cukup diam saja atau berada pada kebimbangan dan
keragu-raguan, seperti pengikut-pengikut agama Budha kelompok Theravada,
agnostik dan skeptik. Pada prinsipnya, jika dicermati secara mendalam kedua
komunitas pemeluk yang terakhir ini sesungguhnya tidak mengingkari tuhan sama
sekali, khususnya dalam konteks bahwa esensi Tuhan secara mutlak adalah
sesembahan yang patut untuk disembah. Sejatinya mereka hanya mengingkari secara
lahir saja.[12]Betapa
pun adanya, manusia pada hakikatnya tidak mungkin bisa hidup, tanpa
seperangkat aturan dan sistem aqidah keimanan.
Kedua, terdapat
perbedaan pendapat di antara para pengikut agama yang mengakui adanya Tuhan(theistic
religions) mengenai esensi dan bilanganTuhan itu sendiri. “Siapakah
Tuhan itu, dan apakah Dia itu banyak atau hanya satu?” Perbedaan esensi dan
bilangan Tuhan ini pada dasarnya timbul dari keyakinan mereka masing-masing
bahwa itulah yang diwahyukan dari langit dan tertulis di dalam kitab-kitab suci
mereka. Dalam konteks masalah ini, manusia secara umum bisadiklasifikasikan ke
dalam dua golongan utama, (i) mereka yang beriman kepada tauhid atau
beriman kepada satu Tuhan yaitu para pengikut agama yang sering dikenal dengan
nama “agama tauhid” (agama monoteis) yang umumnya terdiri dari
pengikut agama-agama yang disebut “agama samawi” seperti Kristen, Yudaisme dan
Islam. [13] Walaupun
kenyataannnya terdapat perbedaan fundamental di antara satu sama lain dalam
mendefinisikan esensi atau hakikat Tuhan yang satu ini. Sekte Mahayana dalam
agama Budha merupakan salah satu bagian dari golongan pertama ini juga.[14] (ii)
mayoritas pemeluk agama-agama non-Semitik seperti Hindhu, Majusi, Taoisme dan
lainnya. Mereka beriman kepada banyak Tuhan atau golongan yang sering dikenal dengan
“politeistik”, yaitu golongan yang meyakini banyak Tuhan yang biasanya
termanifestasikan dalam kekuatan-kekuatan fenomena alam: langit (heavenly),
kayangan (celestial), dan bumi(terrestial). Masing-masing
mensakralkan Tuhan Langit, Bumi, Angin, Matahari, dan lain-lain, dengan sebutan
atau nama yang berbeda-beda sesuai dengan bahasa mereka. Namun letak geografis
dua agama yang saling berdekatan biasanya berpengaruh cukup besar dalam
kemiripan nama-nama Tuhan tertentu. Sebagai contoh Tuhan Matahari dalam agama
Hindhu adalah Mitra, sedangkan dalam agama Majusi
disebutMithra. Begitu juga Tuhan Kematian dalam agama Hindhu
disebut Yama, sedangkan dalam agama Majusi disebut Yima.[15]
Ketiga, perbedaan pendapat
diantara pengikut agama yang mengakui adanya Tuhan (theistic religions),
yaitu tentang apakah Tuhan itu berinkarnasi (menjelma) atau tidak. Dalam hal
ini, mereka terbagi menjadi dua kelompok, agama Islam menyatakan bahwa Tuhan
sama sekali tidak menjelma di dalam diri manusia atau apa pun (kecuali sebagian
kaum sufi yangsyadz seperti Ibnu ‘Arabi dan Abu Mansur al-Hallaj).
Sementara golongan selain Islam menyatakan bahwa Tuhan itu menitis dan menjelma
di dalam tubuh manusia, namun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka dalam
masalah penjelmaan tuhan (inkarnasi tuhan).[16] Agama
Hindhu, Budha (golongan mahayana) dan jainisme meyakini inkarnasi tuhan yang
berulang-ulang di dalam person yang berbeda-beda. Sedangkan
agama Kristen tidak meyakini pengulangan inkarnasi tersebut, akan tetapi hanya
meyakini inkarnasi tuhan yang hanya sekali saja, yakni dalam ‘Isa al-Masih.[17]
2) Akidah “Keterpilihan”
Keyakinan sebagai
bangsa terpilih oleh Tuhan merupakan suatu aqidah yang hampir didapati
dalam semua agama. Pada prinsipnya aqidah ini lebih dikenal di kalangan
agama-agama samawi dibanding agama-agama lain. Dalam agama Yudaisme misalnya,
kitab-kitab sucinya jelas-jelas menjelaskan pemilihan tuhan kepada mereka.
Kitab Keluaran (Exodos), misalnya, menyebutkan: “Dan Musa
mendaki gunung itu untuk bertemu dengan Allah, Tuhan berbicara kepada Musa dari
gunung itu dan menyuruh dia mengumumkan kepada orang Israel, keturunan
Yakub, sekarang kalau kamu taat kepada-Ku dan setia kepada-Ku
sendiri. Seluruh bumi adalah milikku, tetapi kamu akan menjadi milik
kesayanganku, khusus untuk diriku sendiri, dan kamu akan melayani aku sebagai
imam-imam.”
Bahkan Al-Qur’an juga
telah menguatkan hal ini dengan firman Allah, “Hai Bani
Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Ku-anugrahkan kepadamu dan Aku telah
melebihkan kamu atas segala umat.”[18] Disebutkan
pula, “dan sesungguhnya telah Kami pilih mereka dengan
pengetahuan (Kami) atas bangsa-bangsa (yang ada pada masa mereka
itu)”.[19]
Sementara itu, berbeda
dengan ayat di atas, di dalam Kristen sebetulnya tidak terdapat
teks-teksPerjanjian Baru yang secara kategoris menyatakan “keterpilihan” umat
Kristen oleh tuhan. Akan tetapi sejauh yang menyangkut masalah keyakinan
“keterpilihan” ini dalam kitab-kitab perjanjian baru hanyalah terbatas pada
Nabi Isa al-Masih saja, atau tokoh-tokoh tertentu saja. Oleh karena itu, aqidah
“keterpilihan” umat Kristen lebih didasarkan pada ajaran gereja yang menegaskan
bahwa Tuhan telah memilih Isa al-Masih untuk menjadi tempat inkarnasi,[20] untuk
kemudian disalib sebagai tebusan dosa warisan anak cucu Adam. Dan pemilihan
terhadap Isa al-Masih adalah pemilihan terhadap umatnya.
Sedangkan dalam Islam,
keyakinan “keterpilihan” umat Islam oleh Allah ini jelas-jelas di nash dalam
Al-Qur’an, surah Al-Imron: 110,
“Kamu adalah
umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah pada yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”[21]
Aqidah ini disebut
juga disebut juga dalam dalam surah Al-Baqarah, yang artinya :
“Dan demikian (pula)
Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas (perbuatan) kamu…”[22]
Dan masih banyak lagi
ayat-ayat dan hadits-hadits yang secara eksplisit maupun implisit menegaskan
eksistensi umat Islam sebagai umat yang terpilih. Namun perlu disadari
bahwa keutamaan atau keterpilihan umat Islam tidaklah mutlak tanpa syarat,
karena hal itu akan bertentangan dengan keadilan Tuhan. Akan tetapi terikat
dengan apa yang termaktub di dalam ayat-ayat al-Qur’an, yakni mereka senantiasa
tergolong sebagai umat yang terpilih selama mereka tetap menegakkan
prinsip amar ma’ruf nahii munkar,[23] dan
tetap beriman kepada Allah.
Faktor eksternal
mempunyai peran yang cukup besar bagi berkembangnya teori pluralisme agama.
Faktor eksternal meliputi faktor sosio-politis dan faktor ilmiah, dan faktor
teknologi.
a. Faktor Sosio-Politis
Diantara faktor yang
mendorong munculnya teori pluralisme agama adalah berkembangnya
wacana-wacana sosio-politis, demokrasi, dan nasionalisme yang telah
melahirkan sistem negara-bangsa, dan kemudian mengarah pada apa yang dikenal
dengan “globalisasi”.Proses ini bermula semenjak pemikiran manusia mengenal
“liberalisme” yang menerompetkan irama-irama kebebasan, toleransi, kesamaan dan
pluralisme, kemudian liberalisme menjadi ikon dan simbol setiap pergerakan
sosio-politis dalam menentang segala bentuk kedzaliman, hingga muncul dalam
kasus sosial politik suatu istilah yang disebut “demokrasi”. Begitu juga
meski dasar-dasar liberalisme semula tumbuh dan berkembang sebagai proses
sosio-politis dan sekular, tapi kemudian paham ini tidak lagi berbatas pada
masalah-masalah politis belaka. Watak universal dan komprehensif,[24] yang diklaimnya
yang meliputi HAM,[25] telah juga
menyeretnya untuk mempolitisasi masalah-masalah agama dan
mengintervensinya secara sistematis.
b. Faktor Keilmuan: Gerakan
Kajian-Kajian “Ilmiah” Modern terhadap Agama-Agama
Pada hakikatnya,
terdapat banyak faktor keilmuan yang berkaitan dengan pembahasan ini. Namun
yang memiliki kaitan langsung dan erat dengan timbulnya teori-teori pluralisme
agama adalah maraknya studi-studi “ilmiah” modern terhadap agama-agama dunia,
atau yang sering dikenal dengan studi Perbandingan Agama. Kajian-kajian ini
telah berkembang begitu pesat dan cepat, baik dalam metodologi maupun
materinya, sehingga memungkinkannya untuk membuat penemuan-penemuan,
tesis-tesis, teori-teori, kesimpulan-kesimpulan dan pengayaan-pengayaan ilmiah
yang baru, dan pada gilirannya menjadikannya memiliki bobot yang sangat diperhitungkan
dalam diskursus[26]pemikiran
dan akademik modern. Lebih dari itu, kajian-kajian telah berhasil membekali
perpustakaan-perpustakaan dengan banyak literatur yang berkenaan dengan
agama-agama dunia yang sangat bermanfaat bagi kajian-kajian berikutnya.
c. Teknologi
Teknologi modern tak
hanya merubah wajah kehidupan fisik-material, tapi juga merubah pola kehidupan
manusia, baik secara pribadi maupun sosial. Untuk memenuhi kebutuhan psikis
material dapat diperoleh dengan cara membeli atau mentransfer teknologi. Namun
tak demikian untuk memenuhi kebutuhan mental-spiritual manusia. Transisi dari
pola pikir lama ke pola pikir baru, baik secara fisik-material maupun
mental-spiritual tak mudah. Kasus bekas negara-negara Eropa Timur, Uni Soviet
dan Yugoslavia menjelaskan betapa proses transisi itu tidak mudah. Hukum
perubahan tak mengenal apakah suatu bahasa sudah memasuki era high
technology atau belum.
Dalam era globlisasi
budaya, agama dapat tekanan berat. Sebab agama punya asumsi dasar: manusia
perlu pegangan hidup tetap (stable, certainty, unfalsifiable)sedang
kehidupan sendiri penuh perubahan (instability, uncurtainty dan
falsifible). Dalam keadaan pelik ini, orang dituntut beradaptasi
dengan lingkungan baru secara terus menerus, sementara nilai-nilai lama yang
diidealkan tetap jadi panutan. Era keterbukaan kultural dan kognitif[27] secara
bersama-sama berpengaruh pada perubahan cara seseorang dan kelompok memandang
“objek” di luar dirinya. Dalam situasi demikian, peran agama yang konstruktif[28] untuk membimbing
manusia yang terhimpit kedua sisi tuntutan berlawanan itu sangat dinantikan.[29]
Hampir
seluruh wilayah di Indonesia, pluralitas masyarakatnya semakin nyata
dan berhimpit erat dengan realitas kehidupan sehari-hari, antara lain dengan
kehidupan agama-agama atau kehidupan beragama dan bermasyarakat. Timbulnya
pluralisme, terutama pluralisme agama Islam di Indonesia, di antaranya
disebabkan karena lahirnya organisasi-organisasi Islam, munculnya paham-paham
baru, aliran-aliran baru, ataupun ajaran-ajaran baru yang masing-masing
dari mereka mempunyai latar belakang dan tujuan. Di antara perkumpulan dan
organisasi islam tersebut ialah:
Organisasi ini
didirikan di Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H oleh Kyai
Haji Ahmad Dahlan. Perkumpulan Muhammadiyah berusaha mengembalikan ajaran Islam
kepada sumber aslinya yaitu Alquran dan Assunah. Itulah sebabnya tujuan
perkumpulan ini adalah untuk meluaskan dan mempertinggi pendidikan agama islam,
serta memperteguh keyakinan tentang agama islam, sehingga terwujudlah
masyarakat islam yang sebenar-benarnya.[30]
Nahdatul Ulama pada
waktu berdirinya ditulis dengan ejaan lama “Nahdlatoel Oelama (NO)” didirikan
di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 M, bertepatan dengan tanggal 16 Rajab
1444 H oleh kalangan ulama penganut mazhab yang seringkali menyebut dirinya
sebagai golongan Ahlussunnah Waljama’ah yang dipelopori oleh K.H. Hasyim
Asy’ari dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Berdirinya gerakan NU tersebut adalah sebagai
reaksi terhadap gerakan reformasi dalam kalangan umat Islam Indonesia, dan
berusaha mempertahankan salah satu dari empat mazhab dalam masalah yang
berhubungan dengan fikih, Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, dan
Mazhab Hanbali.[31] Dengan demikian
dapat dikemukakan bahwa motif utama yang mendasari gerakan para ulama
membentuk NU ialah motif keagamaan sebagaijihad fi sabilillah.[32] Aspek
kedua yang mendorong mereka ialah tanggung jawab pengembangan pemikiran
keagamaan yang ditandai upaya pelestarian ajaran mazhab ahlusunnah
waljamaah. Ini tidak berarti statis, tidak berkembang, sebab pengembangan yang
dilakukan justru bertumpu pada akar kesejarahan sehingga pemikiran yang
dikembangkan itu memiliki konteks historis. Aspek ketiga ialah dorongan untuk
mengembangkan mayarakat melalui kegiatan pendidikan, social dan ekonomi. Ini
ditandai dengan pembentukan Nahdatul Watan, Taswi-rul Afkar, Nahdatul
Tujjar, dan Ta’mirul Masajid. Aspek keempat ialah motif politik yang
ditandai semangat nasionalisme ketika pendiri NU itu mendirikan cabang SI di
Mekkah serta obsesi mengenai hari depan negeri merdeka bagi umat Islam. [33]
Persis didirikan di
Bandung tanggal 17 September 1923 oleh K.H. Zamzam. Gagasan
pendirian organisasi ini berasal dari pertemuan yang bersifat kenduri yang
diadakan secara berkala di rumah salah satu anggota kelompok yang berasal dari
Sumatra tetapi telah lama tinggal di Bandung. Setelah selesai berkenduri
biasanya dilanjutkan dengan berbincang-bincang tentang persoalan-persoalan
agama dan gerakan-gerakan keagamaan baik yang terjadi di Indonesia maupun di
negara-negara lain.[34] Nama persis ini
diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha
dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak
dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa
Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam. Falsafah ini
didasarkan kepada firman Allah SWT dalam Al Quran: “Dan berpegang
teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang/aturan) Allah seluruhnya dan
janganlah kamu bercerai berai”.[35]
Serta sebuah hadits
Nabi SAW, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, “Kekuatan Allah itu bersama
al-jama’ah”.[36]
Faham yang dianut oleh
LDII tidak berbeda dengan aliran Islam Jama’ah/Darul Hadits yang telah dilarang
oleh Jaksa Agung Republik Indonesia pada tahun 1971. Keberadaan LDII mempunyai
akar kesejarahan dengan Darul Hadits/Islam Jama’ah.[37], kemudian berganti
nama dengan Lembaga Karyawan Islam (LEMKARI) pada tahun 1972 (tanggal 13
Januari 1972).Kemudian
LEMKARI sebagai singkatan Lembaga
Karyawan Islam ganti nama dengan Lembaga Karyawan Dakwah Islam yang disingkat
juga LEMKARI (1981).
Karena Islam Jama’ah
sudah terlarang di seluruh Indonesia, maka Nur Hasan Ubaidah Lubis mencari
taktik baru, yaitu dengan mendekati Letjen Ali Murtopo (Wakil Kepala Bakin dan
staf Opsus (Operasi Khusus Presiden Suharto)) waktu itu. Sedangkan Ali
Murtopo adalah seorang yang dikenal sangat anti terhadap Islam. Dengan
perlindungan Ali Murtopo maka pada tanggal 1 Januari 1972 M, Islam Jama’ah
berganti nama menjadi ‘Lemkari’ (Lembaga Karyawan Islam atau Lembaga Karyawan
Dakwah Islam) dibawah Golkar. Dikarenakan masih tetap menyimpang dan
menyusahkan masyarakat, kemudian pada bulan November 1990 M mereka mengadakan
Musyawarah Besar Lemkari di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, dan berganti nama
menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) atas anjuran Menteri Dalam
Negeri, Rudini.[38]
Kota atau daerah asal
mula munculnya disebut LDII adalah:
a. Desa Burengan Banjaran, di tengah-tengah kota Kediri, Jawa Timur.
b. Desa Gadingmangu, Kec. Perak, Kab. Jombang, Jawa Timur.
Jemaat Ahmadiyah adalah
suatu gerakan dalam Islam yang didirikan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad pada
tahun 1889. Ahmadiyah bukanlah suatu agama. Agamanya adalah ISLAM. Jemaat
Ahmadiyah menjunjung tinggi Kalimah Syahadat "Laa ilaha Illallah,
Muhammadur-rasulullah".[40] Nama Ahmadiyahberasal
dari nama sifat Rasulullah SAW, Ahmad (yang terpuji).
Tujuan Jemaat Ahmadiyah adalah Yuhyiddiyna wayuqiymus-syariah (Menghidupkan
kembali agama Islam, dan menegakkan kembali Syariat Qur'aniah).[41]
Faktor Perbedaan
Kebudayaan
Keberagamaan dalam
agama Islam di Indonesia, tidak terlepas dari kebudayaan yang beranekaragam.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi akan keberagamaan kebudayaan, hal tersebut
dikarenakan oleh:
a. Faktor Adat Istiadat
Faktor adat istiadat adalah nilai tidak
bersifat universal artinya tidak untuk setiap masyarakat/kelompok menerima
nilai tersebut, sehingga nilai antara suatu daerah dengan daerah lainnya
berbeda-beda.
Contoh: adat istiadat masyarakat Sunda
dengan mayarakat Jawa Tengah berbeda.
b. Faktor Agama
Faktor agama adalah faktor yang paling
mempengaruhi norma dan nilai, karena di setiap agama berbeda pantangan dan
ibadahnya.
Contoh: dalam Islam alkohol dan daging
babi itu haram, sedangkan dalam agama lain tidak diharamkan.
c. Faktor Lingkungan (tempat tinggal)
Faktor lingkungan berperan dalam
pembedaan nilai dan norma setiap daerah/tempat masing-masing.
Contoh: lingkungan di pasar sangat
berbeda dengan lingkungan di perumahan, jika di pasar ada preman yang tetapi di
daerah komplek tidak ada preman (yang memegang/menarik bayaran).
d. Faktor Kebiasaan
Faktor kebiasaan adalah faktor yang
dipengaruhi oleh sering tidaknya orang itu melaksanakan suatu pekerjaan.[42]
Contoh: orang yang berada di pesantren
sudah terbiasa membaca Al-Qur’an, tetapi orang yang berada di luar, belum tentu
terbiasa membaca Al-Qur’an.
e. Faktor Suku
Suku-suku di Indonesia bermacam-macam
ada Sunda, Jawa, Minang, dan lain-lain. Setiap suku memiliki suatu nilai dan
norma yang berbeda-beda contohnya jika di Jawa Barat suatu pernikahan itu yang
melamar laki-laki, tetapi di Sumatera Barat yang melamar itu perempuan.[43]
Ada
banyak problem teologis dalam mendefinisikan identitas suatu agama ditengah
lingkungan yang plural-religius. Sadar atau tidak banyak orang melihat dan
mendefnisikan agama dengan cara pandang keagamaan standar ganda, yaitu
“menerapkan serangkaian standar atau kriteria untuk keyakinannya
sendiri dan serangkaian standar yang sama sekali berbeda untuk
kepercayaan orang lain”. Cara pandang seperti ini banyak digunakan oleh setiap
komunitas agama tidak hanya dalam wacana, tetapi juga dalam praktek agama. Para
teolog atau agamawan selalu menegaskan bahwa kepercayaannya sendiri yang
berasal dari Tuhan, sedang kepercayaan orang lain hanyalah konsepsi manusia.
Banyak orang beragama memandang identitas agamanya sendiri dengan menggunakan
standar idealitas normatif teks keagamaan (kitab suci) untuk agama
sendiri, tetapi pada saat yang sama mereka menilai agama lain berdasarkan
realitas historis-empiris.
Pertama, cara menafsirkan teks
kitab sucinya, dikarenakan (1) Adanya ayat-ayat dalam Al-qur’an yang
seolah-olah mengandung makna atau penafsiran mendua tentang hubungan dengan
orang non-islam, antara rukun dan memerangi, (2) adanya stigma[45] sejarah akibat
konflik religio-idiologis antar umat beragama di masa lalu. (3) Adanya pilihan
metodelogis dalam menafsirkan teks kitab suci itu sendiri.
Kedua, adanya perbedaan
dalam menerapkan tafsir otentik teks kitab sucinya, artinya, bisa jadi
penfsirannya sama, tetapi penerangannya bias berbeda. Kepentingan politik,
ekonomi, kelompok golongan atau organisasi sering berpengaruh pada perbaedaan
sikap terhadap agama orang lain.[46]
Bagaimanapun, konteks
kesejarahan dan sosial pada teks Al-qur’an turun, sangat penting
dipertimbangkan, baik dalam konteks mikro sebab turunnya, maupun konteks
makronya secara umum kesejarahan sosial dan budaya secara luas saat itu.
Pertimbangan ini sangat penting agar penafsiran teks-teks yang dianggap bertentangan
tersebut dapat dilakukan secara arif dan integrative,[47] tidak cenderung
dipaksakan atau dibuat-buat. Harus diingat bahwa Al-qur’an merupakan respon
komentar dan solusi terhadap problem realitas sosial Arab khususnya, dan umat
manusia di dunia pada umumnya.
Menjadi bahan renungan
bagi setiap umat Islam ketika akan menerapkan absolutism,[48] dalam melihat
sesama Muslim lainnya, karena berdasarkan ayat tersebut, bisa jadi mereka lebih
baik. Apalagi, Allah dengan jelas tidak menghendaki terjadinya unsur monolitik
dalam kehidupan masyarakat, sebagai dasar untuk saling kompetisi demi kebaikan
bersama.
Para cendikiawan muslim
Indonesia telah terlibat dalam sejumlah diskursus tentang Islam dan pluralisme.
Bertolak dari pandangan bahwa Islam merupakan agama kemanusiaan (fitrah), yang
berarti cita-citanya sejajar dengan cita-cita kemanusian universal, Nurcholis
Madjid berpendapat bahwa cita-cita keislaman sejalan dengan cita-cita manusia
Indonesia pada umumnya. Ini adalah salah satu pokok ajaran Islam. Oleh karena
itu sistem politik yang sebaiknya diterapkan di Indonesia adalah sistem yang
tidak hanya baik untuk umat Islam, tetapi juga membawa kebaikan untuk semua
anggota masyarakat. Dengan kata lain diperlukan sistem yang menguntungkan semua
pihak, termasuk mereka yang non-muslim. Hal ini, papar Nurcholis, sejalan
dengan watak inklusif Islam. Indonesia. Menurutnya, pandangan ini telah
memperolah dukungan dalam sejarah awal Islam. Nurcholis menyadari bahwa
masarakat Indonesia sangat pluralistik dari segi etnis, adat-istiadat, dan
agama. Dari segi agama, selain Islam, realitas menunjukan bahwa hampir semua
agama, khususnya agama-agama besar dapat berkembanag subur dan terwakili
aspirasinya di Indonesia. Oleh sebab itu masalah toleransi atau hubungan antar
agama menjadi sangat penting. Nurcholis optimis bahwa dalam soal toleransi dan
pluralisme ini, Islam telah membuktikan kemampuannya secara menyakinkan. Fakta
bahwa Islam memperkuat toleransi dan memberikan aspirasi terhadap pluralisme,
sangat kohesif dengan nilai-nilai pancasila yang sejak semula mencerminkan
tekad dari berbagai golongan dan agama untuk bertemu dalam titik kesamaan (comon
platform) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia memiliki
pengalaman sejarah yang panjang dalam pergumulan tentang keragamaan, aliran
politik dan keagaman, sejak zaman pra kemerdekaan sampai sesudahnya.[49]
Nurcholis melihat
ideologi negara Pancasilalah yang telah memberi kerangka dasar bagi masyarakat
Indonesia dalam masalah pluralisme keagamaan.
Sementara itu,
Abdurrahman Wahid juga melihat hubungan antara Islam dengan pluralisme dalam
konteks manifestasi universalisme dalam kosmopolitanisme[50] ajaran Islam.
Menurutnya, Islam ajaran yang dengan sempurna menampilkan universalisme. Adalah
lima jaminan dasar yang diberikan Islam kepada warga masyarakat, baik secara
perorangan maupun kelompok. Kelima jaminan dasar tersebut adalah :
(1) Keselamatan fisik warganegara,
(2) Keselamatan keyakinan agama
masing-masing,
(3) Keselamatan keluarga dan keturunan,
(4) Keselamatan harta benda dan milik
pribadi, dan
Dalam konteks
masayarakat Indonesia yang pluralistik ini, Abdurrahman mengharapkan agar
cita-cita untuk menjadikan Islam dan umat Islam sebagai “pemberi warna tunggal”
bagi kehidupan masyarakat disamping. Ia juga menolak jika Islam djadikan
“alternatif” terhadap kesadaran berbangsa yang telah begitu kuat tertanam dalam
kehidupan masyarakat Islam sebaiknya menempatkan ciri sebagai faktor
komplementer,[52] dan bukan
mendominasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian format
perjuangan Islam pada akhirnya partisipasi penuh dalam upaya membentuk
Indonesia yang kuat, demokratis, dan penuh keadilan. Tujuan akhinya adalah
memfungsikan Islam sebagai kekuatan integrative dalam kehidupan berbangsa.
Elit fundamentalis
Islam memiliki sikap mengambil jarak dan tetap berhati-hati untuk menjaga iman
mereka dari penetrasi agama lain. Oleh sebab itu orang Islam tidak boleh
terlalu cinta terhadap mereka (orang-orang non-muslim) supaya tidak tergoda imannya.
Dan hendaknya umat Islam tidak toleran di bidang yang menyangkut akidah dan
syariah. Selain itu, di bidang kesenian dan budaya pun harus tetap hati-hati,
jangan ada pembauran atau pencampuradukkan, karena yang demikian itu akan
menimbulkan perpecahan. [53]
Berbeda dengan elit
fundamentalis Islam, Kuntowijoyo berpendapat bahwa peradaban Islam merupakan
sistem yang terbuka. Artinya peradaban Islam menjadi subur di tengah pluralis
budaya dan peradaban dunia. Meskipun demikian peradaban dan kebudayaan Islam
juga bersifat orisinil dan autentik,[54] yang mempunyai
ciri dan kepribadian tersendiri. Kunto berpendapat bahwa umat Islam dapat
menerima aspek- aspek positif dari ideologi atau paham apapun, tetapi pada saat
yang sama, perlu didasari bahwa Islam itu autentik, memiliki kepribadian yang
utuh dan sistem tersendiri. Dalam konsteks Indonesia, Kunto berpendapat bahwa
umat Islam, terutama cendikiawannya, harus dapat memadukan kepentingan nasional
dan kepentingan Islam.
Hakikatnya, perbedaan
merupakan anugerah Allah ‘Azza wa Jalla yang diberikan kepada manusia. Dialah
yang mengetahui rahasia di balik perbedaan yang dikehendaki-Nya. Tak
terkecuali ‘perbedaan pendapat’ yang menjadi pembahasan bab
ini.[55]
Dalam Al-Quran, Allah SWT befirman:
“Dan sekiranya Rabbmu menghendaki, niscaya Dia
menjadikan manusia ummat yang satu, namun mereka senantiasa berselisih
pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu. Dan untuk itulah
Allah menciptakan mereka. Dan kalimat (keputusan) Rabbmu telah ditetapkan:
Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka jahannam dengan jin dan manusia (yang
durhaka) semuanya.”[56]
Demikian pula rasulullah
SAW, pernah memaparkan kepada para sahabatnya, dimana beliau mengisyaratkan
akan banyaknya terjadi perbedaan pendapat. Beliau bersabda: “Aku
wasiatkan kepada kalian, agar kalian bertakwa pada Allah, patuh dan taat
sekalipun yang memerintah seorang budak sahaya. Sesungguhnya siapa saja yang
hidup (di kala aku sudah tiada), maka kalian akan menyaksikan perbedaan
pendapat yang sangat banyak….”[57] (al Imam
an-Nawawi, Syarhul Arba’în an Nawâwiyyah).
Maka sangatlah wajar,
apabila para ulama menyebutkan perbedaan pendapat itu merupakan sunnatullâhatau sunnah
rabbâniyyah, dimana kaum muslimin tidak perlu menghindarinya. Bahkan
sebaliknya dituntut untuk lebih mengetahui akar persoalannya, terlebih-lebih
dalam memahami permasalahan agamanya.[58]
Pluralisme berasal
dari dua kata yakni plural dan isme, plural yang berarti beragam, jamak, atau
majemuk. Sedangkan isme yang berarti suatu paham atau pandangan. Jadi
pluralisme agama adalah pandangan atau paham yang memiliki prinsip
bahwa keanekaragaman itu jangan menghalangi untuk bisa hidup berdampingan
secara damai dalam satu masyarakat yang sama.
Munculnya pluralisme
agama tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa factor, yaitu
faktor internal dan faktor eksternal. Di dalam faktor
internal tersebut umat manusia terbagi menjadi umat manusia yang beriman
terhadap wahyu langit/ samawi dan umat manusia yang tidak beriman kecuali pada
akal atau rasionalis. Sedangkan di dalam faktor eksternal tersebut terbagi
menjadi faktor sosio-politis dan faktor keilmuan.
Faktor internal
tersebut merupakan faktor yang timbul akibat tuntutan akan kebenaran yang
mutlak dari agama-agama itu sendri, seperti akidah, sejarah, keyakinan. Faktor
eksternal mempunyai peran kunci dalam menciptakan iklim kondusif dan
lahan yang subur bagi tumbuh berkembangnya teori pluralisme agama.
Di Indonesia, dapat
kita simpulkan bahwa agama bersifat plural, secara keseluruhan yakni terdapat
agama Islam, Kristen, Katolik, Hindhu, Budha. Khusunya di agama
Islam itu juga terdapat keanekaragaman, misalnya NU, Muhammadiyah, Persis,
LDII, Ahmadayiyah.
Dengan adanya
keberagaman tesebut, tidak menutup kemungkinan untuk hidup secara damai.
Pluralisme agama adalah
sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap
agama-agama yang berbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berlain pula.
Al-Qur’an dalam
memberikan pendidikan kesadaran terhadap pluralisme agama
terhadap umat manusia
diantaranya tampak dari sikap-sikapnya sebagai berikut:
1. Mengakui eksistensi agama lain.
2. Memberi hak untuk hidup berdampingan saling menghormati pemeluk agama lain.
3. Menghindari kekerasan dan memelihara tempat-tempat beribadah umat beragama
lain.
4. Tidak memaksakan kehendak kepada penganut agama lain.
5. Mengakui tentang banyaknya jalan yang dapat ditempuh manusia dan pemerintah
berlomba-lomba dalam kebajikan.
Abdullah, Amin.
1996. Study Agama Normativ atau Historis?. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Bayu. 2011. Penyebab Perbedaan
Kebudayaan.http://bayusirmawan.blogspot.com/2011/04/penyebab-perbedaan-kebudayaan.html (diakses tanggal
3 Maret 2013).
Cepot, Kopral. 2009. Sejarah Persatuan Islam.
http://serbasejarah.wordpress.com/2009/05/31/sejarah-persatuan-islam/ (diakses tanggal
10 Maret 2013).
Febrian. Latar Belakang Lahirnya Aliran Sesat Ahmadiyah/Ahmadiah.
http://islammakhedo.blogspot.com/2012/03/latar-belakang-lahirnya-aliran-sesat.html (diakses pada
tanggal 10 Maret 2013).
Haidar, M. Ali.
1998. Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Hasbullah. 1994. Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia. Banjarmasin: Lembaga-Lembaga Studi
Islam dan Kemasyarakatan.
H. M. Zainuddin .
2010. Pluralisme Agama Pergaulatan Dialogis Islam-Kristen di Indonesia (Malang:
UIN Malang Press).
Ilyas, Muh Akbar.
2012. Gerakan LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia),(http://blog.umy.ac.id/muhakbargowa/2012/09/21/gerakan-ldii-lembaga-dakwah-islam-indonesia/ (diakses tanggal
10 Maret 2013).
Khadziq. 2009. Islam
Budaya Lokal Memahami Realitas Agama dalam Masyarakat. Yogyakarta:
TERAS.
Legenhausen, M. 2010. Pluralitas dan
Pluralisme Agama. (Jakarta: Shadra
Press).
Romliy, Moh.
2011. Makalah LDII. http://romliy-punya.blogspot.com/2011/03/makalah-ldii.html (diakses tanggal
10 Maret 2013).
Sumarito. 2011. Sebab-Sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat, (online).
http://blog.umy.ac.id/mpuniversitasterbaik/2011/11/21/sebab-sebab-terjadinya-perbedaan-pendapat-para-ulama/ (diakses tanggal
2 Maret 2013).
Thoha, Anis
Malik. 2005. Tren Pluralisme Agama. Jakarta: Perspektif
Kelompok GEMA INSANI.
Yusuf, Mundzirin.
2005. Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: Pokja Akademik
UIN Sunan Kalijaga.
[2] Khadziq, Islam Budaya Lokal Memahami Realitas Agama dalam Masyarakat (Yogyakarta: TERAS, 2009) hlm. 223.
[3] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama (Jakarta: Perspektif Kelompok GEMA
INSANI, 2005) hlm. 14.
[9] Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama (Jakarta: Perspektiif Kelompok GEMA
INSANI, 2006), hlm.26
[12] Mereka mengingkari secara lahir karena
Tuhan mereka yang sebenarnya adalah akal dan logika, atau apa yang Alquran
sebut dengan hawa.
[13] Yudaisme atau disebut juga agama Yahudi
adalah kepercayaan yang unik untuk bnagsa Yahudi (penduduk negara Israel
ataupun orang Israel yang bermukim di luar negeri). Inti kepercayaan penganut
agama Yahudi adalah wujudnya Tuhan Yang Maha Esa, pencipta dunia yang
menyelamatkan bnagsa Israel dari penindasan di Mesir, menurunkan Undang-Undang
Tuhan kepada mereka dan memilih mereka sebagai cahaya kepada manusia sedunia.
[14] Thoha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama (Jakarta: Perspektiif Kelompok GEMA INSANI, 2006), hlm.24.
[15] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta: Perspektiif Kelompok GEMA
INSANI, 2005), hlm.29.
[20] Inkarnasi berasal dari bahasa Latin
“incanatio”. “in” yang berarti masuk ke dalam, dan “caro/carnis” yang berarti
daging. Inkarnasi dipahami sebagai masuknya Allah ke dalam manusia atau
masuknya Kristus ke dalam manusia. Misteri ini tidak dapat dicerna oleh akal
manusia. Secara sederhananya, inkarnasi berarti penjelmaan.
[23] Adalah ajaran yang mengajurkan umat
Islam untuk mengerjakan amal saleh, dan meninggalkan perbuatan yang keji.
[26] Kata diskursus berasal dari bahasa
Inggris yaitu discourse yang secara mudahnya berarti wacana. Namun
sebenarnya kata ini mempunyai banyak
sekali makna seperti Percakapan, terutama tentang hakikat
yang formal; ekspresi formal dan teratur dalam ucapan dan tulisan; ekspresi
dalam bentuk khotbah, risalah, dll; suatu potongan atau unit ucapan/tulisan
yang terkait. (Middle English; discours, dari bahasa Latin: tindakan pergi kemana-mana). (Longman Dictionary of
English Language, 1984).
[30] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Banjarmasin: Lembaga-Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1994) hlm.
95.
[32] M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998) hlm. 315.
[34]Hasbullah, Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia, (Banjarmasin: Lembaga-Lembaga Studi
Islam dan Kemasyarakatan. 1994) hlm. 120.
[36]Kopral Cepot, Sejarah Persatuan
Islam,http://serbasejarah.wordpress.com/2009/05/31/sejarah-persatuan-islam/, diakses pada tanggal
10 Maret 2013.
[37] Darul Hadits/Islam Jama’ah didirikan
pada tahun 1951 oleh Nurhasan Al Ubaidah Lubis (Madigol). Setelah aliran
tersebut dilarang tahun 1971.
[38] Moh Romliy , Makalah LDII, http://romliy-punya.blogspot.com/2011/03/makalah-ldii.html, diakses pada tanggal
10 Maret 2013.
[39] Muh Akbar Ilyas, Gerakan LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia),http://blog.umy.ac.id/muhakbargowa/2012/09/21/gerakan
-ldii-lembaga-dakwah-islam-indonesia/, diakses pada tanggal 10 Maret 2013.
[41] Febrian, Latar Belakang Lahirnya Aliran Sesat Ahmadiyah/Ahmadiah,http://islam-makhedo.blogspot.com/2012/03/latar-belakang-lahirnya-aliran-sesat.html, diakses pada tanggal
10 Maret 2013.
[42] Bayu, Penyebab Perbedaan
Kebudayaan,http://bayusirmawan.blogspot.com/2011/04/penyebab-perbedaan-kebudayaan.html, diakses pada taggal
3 Maret 2013.
[45] Stigma bisa diartiakan sebagai ciri
negatif yg menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya;
tanda.
[46] Khadziq, Islam Budaya Lokal Memahami Realitas Agama dalam Masyarakat (Yogyakarta: TERAS, 2009) hlm. 234—235.
[49] Sumarito, Sebab-Sebab Terjadinya
Perbedaan Pendapat, http://blog.umy.ac.id/mpuniversitasterbaik/2011/11/21/sebab-sebab-terjadinya-perbedaan-pendapat-para-ulama/, diakses pada tanggal
2 Maret 2013.
[50] paham (gerakan) yg berpandangan
bahwa seseorang tidak perlu mempunyai kewarganegaraan, tetapi menjadi warga
dunia; paham internasional.
[51] Sumarito, Sebab-Sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat, http://blog.umy.ac.id/mpuniversitasterbaik/2011/11/21/sebab-sebab-terjadinya-perbedaan-pendapat-para-ulama/, diakses pada tanggal
2 Maret 2013.
[53] Zainuddin, Pluralisme Agama Pergaulatan Dialogis Islam-Kristen di Indonesia, (Malang: UIN Malang
Press, 2010), hlm. 278-280.
[55]Sumarito, Sebab-Sebab Terjadinya Perbedaan
Pendapat, http://blog.umy.ac.id/mpuniversitasterbaik/2011/11/21/sebab-sebab-terjadinya-perbedaan-pendapat-para-ulama/, diakses pada tanggal
2 Maret 2013.
[58] Sumarito, Sebab-Sebab Terjadinya Perbedaan
Pendapat,http://blog.umy.ac.id/mpuniversitasterbaik/2011/11/21/sebab-sebab-terjadinya-perbedaan-pendapat-para-ulama/, diakses pada tanggal
2 Maret 2013.
Label:
Pemikiran Islam dan Umum
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar