Popular Posts
-
Pemulung Dilarang Masuk! Saat berjalan, berkeliling kota misalnya, atau bahkan banyak di sekitar tempat tinggal kita, sering kita...
-
Ilmu Mantiq (Logika) A. Ilmu Mantiq / Logika Ilmu mantik merupakan suatu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah yang dapat me...
-
A. Tauhid Tauhid adalah ilmu ketuhanan atau keesaan Allah. Dalam al-Qur’an sendiri sangat banyak ayat yang menjelaskan mengenai Tau...
-
Pengalaman Seleksi Beasiswa Djarum Plus 2015 – Yogyakarta Assalamualaikum warohmatullohi wa barokatuh sobat mulia... Bagaim...
-
Jenis Puisi Menurut Aminudin (1) Puisi epik , yakni puisi yang di dalamnya mengandung cerita kepahlawanan, baik kepahlawanan y...
-
Dahulu ada seorang sufi yang melakukan sebuah pengembaraan dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mendakwahkan panji kebenaran ...
-
Belajar dari Sang “Guru Bangsa” *Diskusi singkat dengan Buya Syafii Maarif Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif Sore itu tepatnya di ha...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, persoalan pluralisme masih hangat diperbincangkan. Sebenarnya isu...
-
Assalamualaikum sobat :-) Bagaimana kabar sobat hari ini??? semoga selalu dalam limpahan kasih dan sayang Allah ta'ala..amiiiiin....
-
1. Pengertian Fiqhul Lugah - Secara Etimologis : Terdiridari dua kata yaitu الفقه dan اللغة yang bila diartikan maka memiliki pe...
Blogger templates
Blogger news
Blogroll
About
Blog Archive
About Me
- Unknown
Followers
Labels
Pages
Like us on Facebook
Kamis, 08 Januari 2015
Sejarah Liberalisme dan Wajah Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam
A. Sejarah Lahir dan Perkembangan
Liberalisme Islam di Indonesia
Sejak
awal tahun 1970-an, bersamaan dengan munculnya Orde Baru yang memberikan
tantangan tersendiri bagi umat Islam, beberapa cendekiawan Muslim mencoba
memberikan respon terhadap situasi yang dinilai tidak memberi kebebasan
berpikir. Kelompok inilah yang kemudian memunculkan ide-ide tentang
"Pembaharuan Pemikiran Islam". Kelompok ini mencoba menafsirkan Islam
tidak hanya secara tekstual tetapi justru lebih ke penafsiran kontekstual.
Mereka dapat digolongkan sebagai Islam liberal dalam arti menolak taklid,
menganjurkan ijtihad, serta menolak otoritas bahwa hanya individu atau kelompok
tertentu yang berhak menafsirkan ajaran Islam.
Menurut
Fachri Aly dan Bactiar Effendi (1986: 170-173) terdapat sedikitnya empat versi
Islam liberal, yaitu modernisme, universalisme, sosialisme demokrasi, dan
neo-modernisme. Modernisme mengembangkan pola pemikiran yang menekankan pada
aspek rasionalitas dan pembaruan pemikiran Islam sesuai dengan kondisi-kondisi
modern. Tokoh-tokoh yang dianggap mewakili pemikiran modernisme antara lain
Ahmad Syafii Ma‘arif, Nurcholish Madjid, dan Djohan Effendi. Adapun
universalisme sesungguhnya merupakan pendukung modernisme yang secara spesifik
berpendapat bahwa, pada dasarnya Islam itu bersifat universal. Betul bahwa
Islam berada dalam konteks nasional, tetapi nasionalisasi itu bukanlah tujuan
final Islam itu sendiri. Karena itu, pada dasarnya, mereka tidak mengenal
dikotomi antara nasionalisme dan Islamisme. Keduanya saling menunjang. Masalah
akan muncul kalau Islam yang me-nasional atau melokal itu menyebabkan
terjadinya penyimpangan terhadap hakikat Islam yang bersifat universal. Pola
pemikiran ini, secara samar-samar terlihat pada pemikiran Jalaluddin Rahmat, M.
Amien Rais, A.M. Saefuddin, Endang Saefudin Anshari dan mungkin juga Imaduddin
Abdul Rahim.
Pola
pemikiran sosialisme–demokrasi menganggap bahwa kehadiran Islam harus memberi
makna pada manusia. Untuk mencapai tujuan ini, Islam harus menjadi kekuatan
yang mampu menjadi motivator secara terus menerus dalam berbagai aspek kehidupan
manusia. Para pendukung sosialis-demokrasi melihat bahwa struktur sosial
politik dan, terutama, ekonomi di beberapa negara Islam termasuk Indonesia,
masih belum mencerminkan makna kemanusiaan, sehingga dapat dikatakan belum
Islami. Proses Islamisasi, dengan demikian, bukanlah sesuatu yang formalistik.
Islamisasi dalam refleksi pemikiran mereka adalah karya-karya produktif yang
berorientasi kepada perubahan-perubahan sosial ekonomi dan politik menuju
terciptanya masyarakat yang adil dan demokratis. Adi Sasono, M. Dawam Rahardjo,
serta Kuntowidjojo dapat dimasukkan dalam pola pemikiran ini.
Sedangkan
neo-modernisme mempunyai asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan dalam proses
pergulatan modernisme. Bahkan kalau mungkin, Islam diharapkan menjadi leading
ism (ajaran-ajaran yang memimpin) di masa depan. Namun demikian, hal itu tidak
berarti menghilangkan tradisi keislaman yang telah mapan. Hal ini melahirkan
postulat (dalil) al-muhâfazhat ‘alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdu bi al-jadîd
alashlah (memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang
lebih baik). Pada sisi lain, pendukung neo modernisme cenderung meletakkan
dasar-dasar keislaman dalam konteks atau lingkup nasional. Ada dua tokoh
intelektual yang menjadi pendukung utama neo modernisme ini adalah Nurcholish
Madjid dan Abdurrahman Wahid.
Tampaknya
pemikiran Nurcholish (Prisma, nomor ekstra, 1984: 10-22), lebih dipengaruhi
oleh ide Fazlur Rahman, gurunya di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Sedang
pemikiran neo modernisme Abdurrahman Wahid telah dibentuk sejak awal karena ia
dibesarkan dalam kultur ahlussunnah wal jama’ah versi Indonesia, kalangan NU.
Karena itu, ide-ide keislamannya tampak jauh lebih empiris, terutama dalam
pemikirannya tentang hubungan Islam dan politik. (Prisma, Nomor ekstra, 1984:
3-9; dan Prisma, 4 April 1984: 31-38).
Sejak
akhir tahun 1990an muncul kelompok-kelompok anak muda yang menamakan diri
kelompok "Islam Liberal" yang mencoba memberikan respon terhadap
permasalahan-permasalahan yang muncul pada akhir abad ke- 20. Majelis Ulama
Indonesia (MUI) melihat betapa bahayanya pemikiran-pemikiran yang dikembangkan
oleh kelompok ini, sehingga pada Munasnya yang ke-7 pada tanggal 25-29 Juli
2005 mengeluarkan fatwa bahwa pluralisme, sekularisme dan liberalism merupakan
paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Oleh sebab itu umat Islam
haram hukumnya mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama
(Adian Husaini, t.th: 2-4). Dalam Keputusan MUI No. 7/MUNAS VII/11/2005
dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan liberalisme adalah memahami nash-nash
agama (Al Qur’an dan As-Sunnah) menggunakan akal pikiran yang bebas, dan hanya
menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.
Islam
liberal di Indonesia era reformasi nampak lebih nyata setelah didirikannya
sebuah "jaringan" kelompok diskusi pada tanggal 8 Maret 2001, yang
tujuannya adalah untuk kepentingan pencerahan dan pembebasan pemikiran Islam
Indonesia. Usahanya dilakukan dengan membangun milis ( islamliberal@yahoo.com).
Kegiatan utama kelompok ini adalah berdiskusi tentang hal-hal yang berkaitan
dengan Islam, negara, dan isu-isu kemasyarakatan. Menurut hasil diskusi yang
dirilis pada tanggal 1 Maret 2002, Jaringan Islam Liberal (JIL) mengklaim telah
berhasil menghadirkan 200 orang anggota diskusi yang berasal dari kalangan para
penulis, intelektual dan para pengamat politik. Di antara mereka muncul
nama-nama seperti; Taufik Adnan Amal, Rizal Mallarangeng, Denny JA, Eep
Saefullah Fatah, Hadimulyo, Ulil Abshar-Abdalla, Saiful Muzani, Hamid Basyaib,
Ade Armando dan Luthfi Assaukanie. Tentu tidak semua orang yang hadir diskusi
berarti mendukung ide-ide JIL.
Diskusi
awal yang diangkat oleh JIL adalah seputar definisi dan sikap Islam Liberal
seputar isu-isu Islam, negara dan isu-isu kemasyarakatan. Pendefinisian Islam
Liberal diawali dengan kajian terhadap buku Kurzman yang memilah tradisi
keislaman dalam tiga kategori yakni, customary Islam, fundamentalis atau
Wahabis atau Salafis, dan liberal Islam. Kategori ketiga diklaim sebagai koreksi
dan respon terhadap dua kategori yang disebut pertama. Pertanyaan yang muncul
dalam diskusi awal itu adalah apakah Islam Liberal di Indonesia akan bersifat
elitis dan sekedar membangun wacana atau Islam Liberal yang menyediakan
refleksi empiris, dan memiliki apresiasi terhadap realitas? Kalau Islam Liberal
itu paralel dengan civicculture (pro pluralisme, equal opportunity, moderasi,
trust, tolerance, memiliki sence of community yang nasional, lalu di mana
Islamnya? Atau Islam Liberal adalah skeptisisme dan agnostisme yang hidup dalam
masyarakat Islam? Diskusi dalam milis yang panjang akhirnya tidak menyepakati
sebuah definisi tentang Islam Liberal. Tetapi mereka menandai sebuah gerakan
dan pemikiran yang mencoba memberikan respon terhadap kaum modernis, tradisional,
dan fundamentalis.
Islam
Liberal berkembang melalui media massa. Surat kabar utama yang menjadi corong
pemikiran Islam Liberal adalah Jawa Pos yang terbit di Surabaya, Tempo di
Jakarta dan Radio Kantor Berita 68 H, Utan Kayu Jakarta. Melalui media tersebut
disebarkan gagasan-gagasan dan penafsiran liberal. Karya-karya yang dicurigai
sebagai representasi pemikiran liberal Islam dibicarakan dan dikutuk oleh
lawan-lawannya, terutama melalui khutbah dan pengajian. Buku seperti Fiqih
Lintas Agama (Tim Penulis Paramadina), Menjadi Muslim Liberal (Ulil
Abshar-Abdalla) Counter-Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Musda Mulia dkk),
Indahnya Perkawinan Antar Jenis (Jurnal IAIN Walisongo) dan banyak lagi artikel
tentang Islam yang mengikuti arus utama pemikiran liberal. Ketegangan antara
yang pro dan kontra JIL, memuncak setelah keluarnya Fatwa MUI tentang haramnya
liberalisme, sekularisme dan pluralisme pada tahun 2005. Ketegangan sedikit
menurun setelah salah seorang contributor dan sekaligus kordinator JIL, Ulil
Abshar-Abdalla pergi ke luar negeri, belajar ke Amerika Serikat.
Ulil
melalui bukunya Menjadi Muslim Liberal menolak jenis-jenis tafsir keagamaan
yang hegemonik, tidak pluralis, antidemokrasi, yang menurutnya potensial
menggerogoti persendian Islam sendiri. Pemikiran Ulil tidak bebas seratus
persen. Sebagai alumni pesantren, ia tetap apresiatif terhadap keilmuan
pesantren. Melalui kolomnya On Being Muslim kita tahu bahwa Ulil ternyata
mendapatkan akar-akar liberalism pemikiran keislamannya juga dari ilmu-ilmu
tradisional seperti ushûl alfiqh, qawâ‘id al-fiqhiyah yang dahulu diajarkan
oleh para ustadznya di pesantren. Ilmu-ilmu pesantren semacam balaghah dan
mantiq (logika) tampaknya turut melatih Ulil perihal bagaimana menstrukturkan
kata dan kalimat, mensistematisasikan argumen serta mengukuhkan kekuatan dalam
bernalar.[1]
B. Wajah Liberalisme di Perguruan
Tinggi Islam
“Di Freedom Istitute dan Jaringan Islam Liberal, kita semua dekat
seperti saudara. Yang menyatukan kita adalah, kita benar-benar menjadi liberal
yang kaffah. Kita merasa satu ide, satu perjuangan” Ujar Nong Darol Mahmada
(salah satu aktivis liberal)[2]
Universitas
Islam negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 24 Mei 2002. Ruang aula tempat terselenggaranya dialog
publik bertajuk “Jilbab Yes or No : Problematika Perwajiban berjilbab di UIN
Jakarta” hari itu penuh sesak. Mahasiswa yang pro dan kontra dengan kewajibab
jilbab di lingkungan kampus UIN hadir untuk mendengarkan dialog tersebut. Tak
terkecuali, Saidiman, aktifis Forum
Mahasiswa Ciputat (FORMACI) yang kontra terhadap kewajiban berjilbab. Saat diberi kesempatan berbicara, Saidiman dengan
lantang mengatakan, “Saya Saidiman, Mahasiswa Akidah Filsafat Fakultas
Ushuluddin, hari ini juga kelyar dari Islam....”[3]
Ucapan
saidiman itu tentu membuat kaget peserta yang hadir. Betapa beraninya, di
tengah-tengah civitas akademika kampus islam, Saidiman mendeklarasikan dirinya
murtad dari Islam. Namun, bagi mereka yang tahu kiprah Formaci, tempat Saidiman
berorganisasi, yang tak hanya liberal akan tetapi juga berbau kekiri-kirian,
ucapan itu tak mengagetkan. Dalam forum dialog itu, Saidiman juga mengatakan,
“seandainya saya mempunyai keyakinan bahwa orang yang tidak memakai jilbab akan
membuat ia masuk neraka, tetap saja saya tidak bisa memaksanya untuk masuk ke
surga,” tegasnya.
Formaci
adalah wadah tempat berdiskusi mahasiswa kiri dan Liberal di UIN Jakarta, yang
kebanyakan adalah anak-anak muda jebolan pesantren, namun terbawa dalam
euphoria pemikiran barat sekuler. Mereka juga terjangkit cultural shock (gegar
budaya) dalam menghadapi modernitas. Sehingga tidak percaya diri pada identitas
keislamannya dan merasa peradaban barat modern lebih unggul dari peradaban
islam. Meraka yang pada awalnya terkukung pada lingkungan tradisionalis yang terkadang
feodal, kemudian keluar menuju alam bebas yang penuh tantangan dan ide-ide.
Inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya gegar budaya, merasa kaget, dan
akhirnya terjerembab dalam modernitas, na’udzubillah.
Saidiman
si mahasiswa ushuluddin UIN Jakarta, kini telah benar-benar menjadi aktifis
liberal dan dipekerjakan di Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) serta
Yayasan Wakaf Paramadina, ia sering membuat tulisan-tulisan yang berbau
penyimpangan terhadap islam di situs resmi Jaringan Islam Liberal. Pada 26
oktober 2011 ia pernah menulis sebuah pernyataan di salah satu akun media
sosialnya, “Aacapkali saya berfikir, memuja matahari itu jauh lebih penting
dari memuja selainnya, ia selalu memberikan pagi yang indah ini...” ujarnya.
Di
UIN/IAIN/STAIN yang merupakan Perguruan Tinggi Islam sudah banyak bermunculan
berbagai penerbitan yang secara terbuka menyerang al-Qur’an dengan baju “studi
kritis”. Sebagai contoh, Jurnal Justicia Fakultas Syari’ah IAIN Semarang (kini
UIN Walisongo), edisi23 Th XI 2003 menulis editorial sebagai berikut :
“Dalam
studi kritik al-qur’an, pertama kali yang perlu dilakukan adalah kritik
historisitas qur’an. Bahwa kini qur’an sudah berupa teks yang ketika hadir
bukan bebas dari nilai dan tanpa konteks. Justru konteks Arab 14 abad silam
telah mengkontruks al-qur’an. Adalah Muhammad SAW, seorang figur yang saleh dan
berhasil mentansformasikan nalar kritisnya dalam berdialektika dengan realitas
Arab. Namun setelah Muhammad wafat, generasi pasca Muhammad terlihat tidak
kreatif. Jangankan meniru kritisme dan kreativitas Muhammaddalam memperjuangkan
perubahan realitas zamannya, generasi pasca Muhammad tampak kerdildan hanya
membebek pada apa saja yang asalkan dikonstruk Muhammad. Dari sekian banyak
daftar ketidak kreatifan generasi pasca Muhammad, yang paling mencelakan ialah
pembukuan qur’an dengan dialek Quraisy oleh Usman.....”
Selain
itu pada kampus yang sama dan dalam jurnal yang sama yaitu Jurnal Justicia
Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 25 tahun XI 2004 pernah tertulis pengantar redaksi yang cukup
mencengangkan, berikut kutipannya:
“Hanya orang primitif saja yang
melihat perkawinanan sesama jenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya.
Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, umtuk melarang
perkawinan sejenis. Sebab, Tuhanpun sudah maklum bahwa proyeknya menciptakan
manusia sudah berhasil bahkan kebablasan. Jika dulu Tuhan mengutus Luth untuk
menumpas kaum homo karena mungkin bisa menggagalkan proyek Tuhan dalam
menciptakan manusia (karena waktu itu masih sedikit), maka sekarang Tuhan perlu
mengutus “nabi” untuk membolehkan kawin sejenis supaya mengurangi sedikit
proyek Tuhan tersebut. Itu kalau Tuhan masih peduli dengan alam-Nya. Bagi kami,
jalankan terus kaum homoseks, anda berada di jalan yang benar”.[4]
Kasus
liberalisme ini kian marak danmenjadi trend di kalangan mahasiswa Perguruan
Tinggi Islam, termasuk juga di kampus ini. Ketika saya mengikuti OPAK
(Orientasi Pengenalan Akademik dan Kampus) tahun 2013, ada salah satu dari
senioar dengan lantang dan bangga mengeluarkan argumen nyeleneh yang membuat
sebagian peserta tertegun, dengan bangga si senior itu berkata “jangan bangga
dengan Islam, jangan sombong jika kita beragama Islam, karena Islam merupakan
salah satu agama penjajah yang menghilangkan keyakinan asli bangsa kita”.
Beberapa
tahun lalu juga terjadi hal yang sama saat OPAK di UIN Bandung, di acara OPAK
fakultas Ushuluddin semua panitia OPAK fakultas dan peserta OPAK fakultas
dikumpulkan pada sebuah tempat. Disana majulah satu-persatu perwakilan jurusan
untuk memperkenalkan jurusannya, ada banyak penistaan disana dari ucapan yang
keluar dari mulut panitia tiap jurusan, salah satunya ialah disebutkan
“ushuluddin adalah kawasan bebas Tuhan”, lalu juga “Jurusan tafsir adalah
jurusan untuk mentafsirkan Tuhan, dan fakultas ini adalah fakultas bagi mereka
para pencari Tuhan”.
Lalu yang masih cukup aktual ialah
kejadian di OSCAR (sebutan OSPEK) di fakultas Ushuluddin UIN Surabaya yang
mengambil tema “Tuhan telah membusuk” yang menimbulkan banyak kontroversi di
tenga-tengah umat islam.
C. Menjinakkan Virus Liberalisme
dalam Islam
Meskipun
sudah dinyatakan sebagai paham yang bertentangan dengan Islam oleh MUI melalui
fatwanya tahun 2005, paham-paham liberalisme seperti pluralisme agama, relativisme,
perenialisme, dan multikulturalisme agama masih terus disebar luaskan oleh para
pemeluknya. Yang saat ini paling giat dikampanyekan ialah paham Pluralisme
Agama, selain ada yang menganggap paham ini bermanfaat untuk meredam konflik
antar umat beragama, paham ini memang sangat laku dijual. Sebab, paham ini
memang sangat laku ditawarkan pada lembaga-lembaga swadaya masyarakat Barat.
Karena itulah, bisa dipahami bahwa paham ini termasuk isu favorit di kalangan
kaum liberal. Salah satu program utama liberalisasi Islam di Indonesia adalah
penyebaran Pluralisme Agama.
Yang
perlu dilakukan oleh setiap muslim terutama para mahasiswa muslim dimanapun itu
ialah, senantiasa hanya terus mengingat bahwa penyebaran paham liberalisme ini
sangat berbahaya bagi masa depan Islam khususnya di Indonesia. Dalam surat
al-fatihah, disamping kita diperintahkan supaya terhindar dari jalan yang
dimurkai oleh Allah yaitu jalan orang-orang yang tersesat yang termasuk di
dalamnya ialah orang yang pada dasarnya paham ayat-ayat Allah, tetapi kemudian
ayat-ayat itu dicampakan begitu saja. Setiap muslim hendaknya mengokohkan
pemahaman aqidahnya agar tidak mudah terpedaya dengan paham-paham seperti ini.
Dan bagi kalangan akademis islam di Perguruan Tinggi manapun termasuk di Perguruan
Tinggi Islam hendaknya untuk menimba dan memantapkan ilmu pemahamannya tentang
islam, dan berguru pada guru yang benar pemikirannya dan tidak keluar dari
qur’an dan sunnah. Berfikir kritis terhadap setiap doktrin yang ada, jangan
sampai terjebak pada doktrin yang menyesatkan dari ajaran Allah. “ihdina
as-shirat al-mustaqim”.
[1] Syafieh
Yanti, Membongkar Kedok Liberalisme Islam di Indonesia, http://syafieh.blogspot.com/2014/02.
[2] Arta
Wijaya, Indonesia Tanpa Liberal, Jakarta; Putaka Al-Kautsar, Juni 2012.
[3] Majalah
Sabili, Mei 2002
[4] Adian
Husaini, Virus liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, Jakarta; Gema Insani,
2009.
Label:
Pemikiran Islam dan Umum
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar